Armenia Mengakui Palestina, Menambah Ketegangan dengan Israel
Tanggal: 27 Jun 2024 20:05 wib.
Pemerintah Armenia mengumumkan pengakuan resmi atas negara Palestina, menjadikannya negara ke-145 yang melakukan hal tersebut. Langkah ini mendapat pujian dari otoritas Palestina dan teguran keras dari Israel
Dalam pernyataannya, Kementerian Luar Negeri Armenia menyebutkan situasi kemanusiaan yang "katastrofik" di Gaza sebagai alasan utama di balik keputusan ini. "Armenia berkomitmen untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah, serta rekonsiliasi yang langgeng antara bangsa Yahudi dan Palestina," kata kementerian tersebut.
Namun, pengakuan ini berpotensi memperburuk upaya untuk memperbaiki hubungan Armenia dengan Israel, yang sudah tegang akibat penjualan senjata Israel kepada musuh besar Armenia, Azerbaijan. Selain itu, perselisihan mengenai properti gereja Armenia di Kota Tua Yerusalem juga menjadi sumber ketegangan.
Hubungan Armenia-Israel semakin rumit oleh kenyataan bahwa Israel belum mengakui genosida 1915 terhadap hingga 1,5 juta orang Armenia oleh Kekaisaran Ottoman. Setiap tahun pada 24 April, orang Armenia di seluruh dunia, termasuk di Israel, memperingati Hari Peringatan Genosida sebagai pengingat dari peristiwa tersebut.
Stella Mehrabekyan, editor senior di agensi berita CivilNet di Yerevan, mengatakan, "Kami merasa bahwa orang Yahudi dan Armenia memiliki nasib yang sama. Dan itulah sebabnya kami lebih sakit hati ketika sikap ini datang dari Israel."
Di sisi lain, banyak warga Israel yang mengakui pembunuhan massal terhadap orang Armenia oleh Ottoman. Marina Kozliner, seorang Yahudi Armenia yang tinggal di pinggiran Tel Aviv, mengatakan bahwa sebagian besar orang Israel mendukung Armenia dalam isu ini.
Pengakuan Palestina oleh Armenia terjadi di tengah meningkatnya ketegangan regional, termasuk invasi Rusia ke Ukraina, konflik Armenia-Azerbaijan yang berkelanjutan, dan perang Israel melawan Hamas di Gaza. Selama beberapa bulan terakhir, insiden antisemitisme juga meningkat di Armenia, sebagian besar didorong oleh hubungan Israel dengan Azerbaijan.
Rabbi Gershon Burshtein, pemimpin spiritual pusat Yahudi Mordechay Navi di Yerevan, melaporkan bahwa sinagogenya telah dirusak tiga kali sejak Rosh Hashanah. Menurutnya, insiden ini kemungkinan bertujuan untuk mendiskreditkan Armenia dan menciptakan persepsi bahwa negara tersebut adalah pusat antisemitisme.
Armenia dan Azerbaijan, dua bekas republik Soviet, telah lama berkonflik, terutama mengenai wilayah Nagorno-Karabakh. Pada September 2023, Azerbaijan memaksa lebih dari 100.000 etnis Armenia keluar dari Karabakh dengan bantuan senjata dan drone Israel.
Israel memasok sekitar 70% persenjataan Azerbaijan dan menerima sekitar 40% minyak mentahnya dari negara tersebut. Hubungan militer ini memperparah sentimen negatif di Armenia terhadap Israel.
Seiring dengan meningkatnya jumlah komunitas Yahudi di Armenia akibat kedatangan Yahudi Rusia dan Ukraina, beberapa insiden antisemitisme muncul. Meskipun demikian, para pemimpin komunitas Yahudi di Armenia percaya bahwa insiden ini dimaksudkan untuk mendiskreditkan negara tersebut dan bukan merupakan pandangan umum masyarakat Armenia.
Eric Hacopian, konsultan politik, menegaskan bahwa konflik Israel-Palestina bukan isu besar di Armenia, yang lebih fokus pada trauma mereka sendiri. Namun, pengakuan Palestina oleh Armenia menambah dinamika kompleks dalam hubungan Armenia-Israel.