Apa yang Kita Pelajari dari Perang Dunia, Tapi Tetap Kita Ulangi?
Tanggal: 9 Jul 2025 09:11 wib.
Sejarah adalah guru terbaik, demikianlah pepatah bijak yang sering kita dengar. Namun, jika kita melihat rekam jejak manusia pasca-Perang Dunia I dan Perang Dunia II, muncul pertanyaan mengganjal: apakah kita benar-benar belajar? Dua konflik global ini merenggut jutaan nyawa, menghancurkan peradaban, dan meninggalkan trauma mendalam yang mengubah peta dunia. Namun, ironisnya, banyak pelajaran pahit dari episode kelam tersebut yang seolah terabaikan, membuat kita terperosok ke dalam pola-pola konflik serupa, meskipun dalam skala dan bentuk yang berbeda.
Bangkitnya Nasionalisme Ekstrem dan Polarisasi
Salah satu pemicu utama Perang Dunia I dan II adalah gelombang nasionalisme ekstrem yang mengakar kuat. Setiap negara merasa diri superior, berhak atas wilayah tertentu, atau memiliki takdir untuk mendominasi. Sentimen ini diperparah oleh propaganda yang menggemakan kebencian terhadap "yang lain" dan membangun narasi bahwa kepentingan nasional harus dicapai dengan segala cara, bahkan dengan mengorbankan perdamaian.
Ironisnya, di era globalisasi ini, kita kembali menyaksikan kebangkitan bentuk-bentuk nasionalisme yang sempit. Polarisasi politik, baik di dalam negeri maupun antarnegara, semakin meruncing. Perbedaan pendapat bukan lagi dianggap sebagai keragaman, melainkan sebagai garis pertempuran yang harus dimenangkan. Retorika yang memecah belah, demonisasi lawan, dan penolakan untuk berdialog dengan pandangan berbeda, semua ini adalah gema dari bibit-bibit konflik masa lalu. Meskipun skalanya mungkin belum mencapai perang global, fondasi mentalitas "kita versus mereka" telah kembali terbangun.
Kegagalan Diplomasi dan Multilateralisme
Setelah Perang Dunia I, Liga Bangsa-Bangsa didirikan dengan harapan menjadi forum penyelesaian konflik damai. Ia gagal, membuka jalan bagi Perang Dunia II. Pasca-Perang Dunia II, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dibentuk dengan struktur yang lebih kuat dan harapan yang lebih besar. Meskipun PBB telah mencegah banyak konflik dan memfasilitasi kerjasama, kegagalan diplomasi dan melemahnya multilateralisme masih menjadi ancaman nyata.
Kepentingan nasional yang egois seringkali mendominasi, membuat resolusi PBB tak berdaya di hadapan veto negara-negara kuat atau penolakan negara-negara anggota. Alih-alih mencari solusi kolektif untuk masalah global seperti perubahan iklim, pandemi, atau krisis kemanusiaan, banyak negara memilih jalur unilateralisme atau membentuk aliansi yang bersifat eksklusif, memperdalam perpecahan. Kita seolah lupa bahwa masalah global membutuhkan solusi global, dan bahwa isolasionisme pada akhirnya hanya akan merugikan semua pihak.
Perlombaan Senjata dan Kepercayaan Berlebihan pada Kekuatan Militer
Perang Dunia I dipicu oleh perlombaan senjata antara kekuatan-kekuatan Eropa. Perang Dingin, meskipun tidak berujung perang langsung, juga dicirikan oleh akumulasi senjata nuklir yang mengerikan. Setiap pihak percaya bahwa kekuatan militer yang superior adalah jaminan keamanan. Paradoksnya, obsesi pada kekuatan militer justru meningkatkan risiko konflik dan merampas sumber daya yang seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan manusia.
Saat ini, anggaran militer global terus meningkat. Perlombaan senjata, khususnya dalam pengembangan teknologi baru seperti senjata otonom dan siber, kembali menjadi fokus. Kepercayaan bahwa kekuatan militer dapat menyelesaikan semua masalah, bahkan konflik internal sebuah negara, masih begitu kuat. Kita terus menginvestasikan triliunan dolar untuk instrumen penghancuran, sambil seringkali mengabaikan akar masalah sosial, ekonomi, dan politik yang sebenarnya memicu ketidakstabilan.
Abainya Terhadap Peringatan Dini dan Gejala Ketidakadilan
Sejarah menunjukkan bahwa perang tidak pecah begitu saja. Ada peringatan dini dan gejala ketidakadilan yang jika diatasi sejak awal, bisa mencegah eskalasi. Diskriminasi etnis atau agama, ketidaksetaraan ekonomi yang parah, penindasan politik, dan kurangnya akses terhadap sumber daya adalah pupuk yang menyuburkan benih-benih konflik.
Namun, seringkali kita abai. Dunia internasional cenderung bereaksi setelah krisis meledak, bukan proaktif mencegahnya. Konflik di berbagai belahan dunia, meskipun berskala lebih kecil dari Perang Dunia, seringkali berakar pada ketidakadilan struktural yang tidak ditangani. Kita masih terlalu sering menutup mata terhadap penderitaan dan ketidakpuasan yang memicu radikalisasi, hanya untuk terkejut ketika kekerasan meletus.
Perang Dunia adalah monumen peringatan akan kebodohan dan kekejaman manusia. Pelajarannya gamblang: nasionalisme ekstrem berujung bencana, diplomasi adalah satu-satunya jalan keluar yang rasional, perlombaan senjata adalah ilusi keamanan, dan ketidakadilan akan selalu menemukan jalannya untuk meledak.
Namun, dari waktu ke waktu, kita melihat pola-pola ini terulang. Mungkin karena memori kolektif yang memudar, atau karena kegagalan kepemimpinan untuk belajar dari kesalahan masa lalu, atau mungkin karena sifat dasar manusia yang rentan terhadap ketakutan dan kebencian. Untuk memutus lingkaran ini, dibutuhkan upaya sadar dan terus-menerus untuk memupuk empati, mendorong dialog, memperkuat institusi multilateral, dan secara proaktif mengatasi ketidakadilan di mana pun ia muncul. Hanya dengan demikian, kita bisa berharap untuk benar-benar belajar dari sejarah dan membangun masa depan yang lebih damai.