Sumber foto: Krisis pangan global akibat perubahan iklim — lahan tandus, tanaman kering, dan petani berjalan di bawah langit oranye berdebu

Alarm Merah Pangan Global Perubahan Iklim Ancam Anak Cucu

Tanggal: 31 Okt 2025 09:44 wib.
Alarm Merah Pangan Global: Ancaman Perubahan Iklim yang Nyata

Lembaga-lembaga pangan dunia secara serempak menyuarakan peringatan keras. Program Pangan Dunia (WFP) dan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) misalnya, terus membunyikan sirene. Ini bukan lagi sekadar perkiraan masa depan; krisis pangan akut kini adalah realitas pahit.

Ancaman ini mengintai puluhan negara di berbagai benua. Namun, ini bukan krisis tunggal biasa. Kita sedang menghadapi "badai sempurna" di mana konflik geopolitik dan guncangan ekonomi berpadu. Biang kerok utamanya adalah perubahan iklim, yang memperburuk segalanya.

Fenomena ini menjadi sorotan utama di panggung internasional. Perubahan iklim bukan sekadar masalah lingkungan. Tagihan besarnya akan dibayar mahal oleh generasi mendatang. Mereka akan mewarisi dampak dari keputusan kita hari ini.

Perubahan Iklim: "Pengganda Ancaman" di Piring Makan Kita

Para pakar keamanan pangan dan iklim memiliki satu istilah penting. Mereka menyebut perubahan iklim sebagai threat multiplier atau "pengganda ancaman". Dampaknya memang luar biasa besar.

Jika perang lokal bisa memicu kelangkaan pangan, perubahan iklim membuatnya 10 kali lebih buruk. Krisis pun meluas secara global. Mari kita lihat apa yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Kekeringan ekstrem melanda Kawasan Tanduk Afrika. Somalia, Ethiopia, dan Kenya mengalami kemarau terburuk dalam puluhan tahun. Jutaan hewan ternak mati, lahan pertanian retak parah. Jutaan nyawa manusia kini di ambang kelaparan [krisis iklim kelaparan]. Ini bukan musim kemarau biasa, melainkan pola iklim baru yang lebih panas.

Di sisi lain bumi, banjir apokaliptik melanda Pakistan beberapa waktu lalu. Banjir ini tidak hanya menelantarkan jutaan orang. Sepertiga wilayah negara juga terendam, menghancurkan lahan pertanian utama. Lahan lumbung pangan vital negara itu kini tak bersisa.

Sementara itu, gelombang panas (heatwave) ekstrem menyapu Eropa dan Amerika Utara. Padahal, kawasan ini adalah produsen pangan utama dunia. Suhu yang membakar membuat ladang gandum dan jagung mengering. Panen kedelai juga gagal sebelum waktunya, memicu kerugian massal.

Guncangan Pangan Global yang Mengancam Dapur Kita

Anda mungkin berpikir krisis di Somalia atau Pakistan tidak berdampak langsung ke Indonesia. Asumsi ini sepenuhnya keliru. Sistem pangan global saat ini sangat terinterkoneksi satu sama lain. Kita saling bergantung.

Ketika negara produsen utama mengalami gagal panen akibat iklim, pasokan global berkurang drastis. Hukum ekonomi dasar mengajarkan kita: pasokan seret, permintaan tinggi, harga pasti meroket. Ini adalah mekanisme yang tak terhindarkan.

Kenaikan harga gandum di pasar internasional adalah contoh nyatanya. Inilah alasan mengapa harga roti dan mi instan di dapur kita ikut naik. Krisis pangan di mancanegara, yang dipicu oleh iklim, pada akhirnya memukul dompet setiap orang.

Bahkan negara-negara dengan ketahanan pangan yang lebih baik pun merasakan dampaknya [ketahanan pangan global]. Fluktuasi harga komoditas global menyebabkan biaya hidup meningkat. Kita semua merasakan imbas dari bencana iklim yang terjadi di belahan dunia lain.

Warisan Pahit untuk Generasi Mendatang: Krisis Pangan di Ujung Tanduk

Siapa yang pada akhirnya menanggung beban terberat dari krisis ini? Jawabannya jelas: generasi masa depan. Generasi Z dan Alpha akan mewarisi planet yang sangat berbeda.

Laporan-laporan ilmiah, termasuk dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), melukiskan gambaran suram [dampak iklim pangan]. Produksi pangan diproyeksikan akan semakin sulit. Panen menjadi lebih tidak menentu di masa depan. Kualitas gizi tanaman juga menurun karena tingginya CO2 di atmosfer.

Wilayah pertanian produktif akan menyusut secara signifikan. Pada tahun 2050, produksi pangan global bisa turun 10% akibat perubahan iklim [produksi pangan global]. Mereka harus berjuang memberi makan populasi dunia yang terus bertambah. Diperkirakan mencapai 9,7 miliar jiwa pada 2050, dengan sumber daya yang kian menipis.

Krisis air bersih juga menjadi ancaman serius. Perubahan iklim bukan hanya soal suhu, tetapi juga siklus air. Kekeringan parah dan banjir ekstrem akan memperebutkan sumber daya vital. Air bersih adalah kebutuhan utama bagi pertanian dan kehidupan.

Alarm merah ini bukan lagi sekadar peringatan untuk masa depan yang jauh. Ini adalah laporan kondisi darurat dari masa kini. Apa yang kita lakukan—atau gagal lakukan—dalam dekade ini sangat menentukan. Ini akan menentukan apakah generasi mendatang masih bisa menikmati makanan, atau hanya mewarisi cerita tentang planet yang pernah hijau dan makmur.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved