30 Juta Pria Tanpa Pasangan: Realita Pahit di Balik Krisis Jodoh dan Tekanan Sosial di China
Tanggal: 28 Jun 2025 09:39 wib.
China tengah bergulat dengan masalah demografis serius: ketimpangan jumlah pria dan perempuan yang mencolok. Saat ini, terdapat lebih dari 30 juta pria dibandingkan jumlah perempuan di negara tersebut. Ketimpangan ini berdampak langsung pada peluang pria untuk menikah, terlebih bagi mereka yang berasal dari kalangan ekonomi bawah.
Di tengah tekanan sosial dan harapan keluarga, para pria ini berjuang keras menemukan pasangan hidup. Banyak dari mereka akhirnya mencari bantuan dari pelatih kencan profesional, seperti yang digambarkan dalam film dokumenter The Dating Game karya Violet Du Feng. Film ini menyoroti kehidupan Hao, seorang pelatih kencan, dan tiga kliennya yang berasal dari latar belakang miskin dan pedesaan.
Tekanan Sosial yang Meningkat dan Minimnya Peluang
Hao, pelatih kencan yang telah menangani ribuan klien, menjelaskan bahwa mayoritas pria yang datang kepadanya berasal dari kelas pekerja. Mereka adalah kelompok yang paling kecil kemungkinan mendapatkan istri. Ketimpangan ini tak hanya soal jumlah, tetapi juga soal status sosial dan ekonomi yang menjadi penghalang besar dalam mencari pasangan.
Tiga kliennya—Li (24 tahun), Wu (27 tahun), dan Zhou (36 tahun)—adalah bagian dari generasi pasca-1990-an yang menjadi korban kebijakan satu anak di China. Kebijakan yang diberlakukan sejak 1980-an ini awalnya bertujuan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk, namun berdampak panjang pada struktur demografis.
Ketimpangan Gender: Warisan dari Kebijakan Satu Anak
Budaya patriarki di China yang lebih mengutamakan anak laki-laki menyebabkan banyak bayi perempuan ditelantarkan, diadopsi ke luar negeri, atau mengalami aborsi selektif. Akibatnya, ketidakseimbangan antara pria dan wanita menjadi semakin besar. Meski kebijakan satu anak telah dicabut pada tahun 2016, dampaknya masih terasa hingga kini.
Selain itu, angka kelahiran terus menurun, sementara jumlah kematian meningkat, menyebabkan populasi China mengalami penurunan tahunan dua tahun berturut-turut. Ini mengkhawatirkan pemerintah, yang kemudian gencar mendorong program-program perjodohan nasional.
Harapan, Pelatihan, dan Perjuangan di Kamp Kencan
Lewat kamp kencan selama seminggu, Hao melatih para pria untuk meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan bersosialisasi. Mereka bahkan dipermak penampilannya, dipotong rambut, diberi tips berbicara, hingga dilatih pendekatan langsung kepada perempuan di tempat umum. Hao juga membantu mereka membangun citra daring, meski kadang terlalu dilebih-lebihkan.
Namun, tak semua peserta merasa nyaman. Zhou, misalnya, merasa bersalah karena harus "memalsukan" jati dirinya di dunia maya. Ia menyadari bahwa berpura-pura menjadi orang lain bukanlah solusi jangka panjang.
“Aku merasa bersalah karena telah menipu orang lain,” ujarnya dengan wajah murung.
Sang istri Hao, sesama pelatih kencan, bahkan mempertanyakan metode sang suami. Tapi Hao tetap percaya diri dan menyemangati kliennya: "Saatnya tampil!"
Realita Berat: Biaya, Status Sosial, dan Stigma
Selain perjuangan emosional, beban ekonomi juga menghantui para pria ini. Zhou mengeluh bahwa sekali kencan bisa menghabiskan separuh penghasilannya. Dengan gaji sekitar US$ 600 (sekitar Rp9 juta) per bulan, biaya perjodohan, makan malam romantis, dan penampilan harus dikeluarkan tanpa jaminan akan berhasil.
“Pada akhirnya, nasib kita ditentukan oleh masyarakat,” kata Zhou. Ia merasa bahwa satu-satunya jalan adalah meningkatkan status sosial agar lebih "layak" dijadikan pasangan.
Sementara itu, Dr. Zheng Mu, sosiolog dari Universitas Nasional Singapura, menyebutkan bahwa tekanan untuk menikah sangat besar di China. Masyarakat masih menempatkan laki-laki sebagai tulang punggung keluarga dan pencari nafkah utama, sehingga mereka yang belum menikah dianggap kurang berhasil secara sosial.
"Stigma ini bisa berdampak pada kesehatan mental," tambahnya.
Mencari Cinta di Dunia yang Tidak Seimbang
The Dating Game tak hanya memotret realita pria-pria lajang di China, tapi juga mengangkat isu global tentang kesulitan menjalin hubungan di era digital. Di mana banyak orang merasa harus berpura-pura sempurna untuk mendapatkan perhatian. Du Feng menekankan bahwa kisah ini bersifat universal—tentang bagaimana tekanan sosial dan ekspektasi online bisa menghancurkan keaslian seseorang.
Di Antara Angka dan Harapan
Krisis jodoh di China bukan sekadar angka. Di balik statistik 30 juta pria tanpa pasangan, tersembunyi kisah nyata tentang kesepian, tekanan, dan perjuangan mencari cinta di tengah ekspektasi masyarakat. Ini adalah peringatan bahwa kebijakan populasi di masa lalu kini menuntut harga mahal—bukan hanya pada negara, tapi juga pada kehidupan personal jutaan individu.