200 Ribu Anak Selandia Baru Alami Pelecehan Seksual di Panti Asuhan
Tanggal: 25 Jul 2024 08:13 wib.
Komisi Penyelidikan Selandia Baru mengungkapkan bahwa sekitar 200 ribu anak, remaja, dan orang dewasa telah menjadi korban pelecehan seksual di berbagai lembaga negara dan agama, termasuk panti asuhan, selama rentang waktu 70 tahun terakhir. Dari laporan yang diterbitkan pada Rabu (24/7), didapati bahwa sekitar 200.000 dari jumlah 650.000 individu yang direhabilitasi sejak tahun 1950 hingga 2019 telah mengalami tindak pelecehan dan kekerasan yang mengganggu. Dampak dari pelecehan ini juga membahayakan kesehatan mental dan fisik para korban. Beberapa di antaranya bahkan menjadi sasaran sengatan listrik dan mengalami kejang, serta mengalami pelecehan seksual oleh petugas gereja.
Di samping itu, ada pula kejadian yang melibatkan pemaksaan dari pihak tertentu terhadap para ibu muda untuk menyerahkan anak-anak mereka untuk diadopsi. Dilansir dari AFP, pelapor pelecehan ini juga menyebutkan bahwa banyak korban berasal dari etnis pribumi, Maori, yang kerap mengalami diskriminasi rasial di berbagai tempat rehabilitasi.
Kepala penasihat penyelidikan, Arrun Soma, menegaskan bahwa para penyintas dari etnis Maori telah menerima perlakuan yang lebih kejam di banyak lembaga. Selama ini, pemerintah dan lembaga agama mencoba untuk menutup-nutupi kasus pelecehan ini dengan cara memindahkan para pelaku ke lokasi lain ataupun menyangkal segala kesalahan yang telah terjadi. Akibatnya, banyak korban telah meninggal dunia sebelum mendapatkan keadilan.
Penyelidikan ini sendiri telah dimulai sejak tahun 2018 oleh Komisi Penyelidikan Kerajaan, yang akhirnya menghasilkan 223 rekomendasi reformasi. Rekomendasi tersebut meliputi permintaan maaf publik dari pemerintah Selandia Baru, Paus, dan Uskup Agung Canterbury, yang sebelumnya telah mengutuk tindak pelecehan anak. Selain itu, Komisi juga menyerukan kepada pemerintah untuk mendirikan Badan Care Safe yang bertugas mengawasi lembaga-lembaga ini, serta membuat undang-undang baru yang mencakup pelaporan wajib atas dugaan pelecehan, termasuk pengakuan dalam konteks agama.
Sebagai tanggapan atas laporan ini, Perdana Menteri Selandia Baru, Christopher Luxon, menyatakan bahwa perilisan laporan tersebut melambangkan "hari yang kelam dan menyedihkan dalam sejarah Selandia Baru." Ia menegaskan komitmennya untuk memperbaiki situasi ini dan berjanji bahwa pemerintah akan menyampaikan permintaan maaf secara resmi pada 12 November mendatang.###