Sumber foto: Canva

Ghosting HRD terhadap Pelamar: Kenapa Bisa Terjadi?

Tanggal: 21 Jul 2025 10:33 wib.
Mencari pekerjaan itu seringkali seperti berlayar di lautan lepas. Kita sudah kirim lamaran, ikut wawancara, bahkan mungkin sudah sampai tahap tes. Lalu, tiba-tiba, senyap. Tak ada kabar. Pesan tidak dibalas, telepon tidak diangkat. Kondisi inilah yang dikenal sebagai ghosting HRD, sebuah fenomena yang sangat familiar bagi banyak pencari kerja. Rasanya pasti kecewa, bahkan frustrasi, setelah meluangkan waktu dan energi, kita malah digantung tanpa kejelasan. Tapi, apa sebenarnya yang menyebabkan praktik ghosting ini sering terjadi di dunia rekrutmen?

Volume Lamaran yang Membludak: Antara Sumber Daya dan Keterbatasan

Salah satu alasan paling umum di balik ghosting HRD adalah volume lamaran yang luar biasa banyak. Untuk satu posisi yang dibuka, sebuah perusahaan, terutama yang namanya sudah dikenal, bisa menerima ratusan bahkan ribuan lamaran. Bayangkan, satu tim HRD harus menyaring, memproses, dan berkomunikasi dengan setiap kandidat. Sumber daya, baik waktu maupun personel, seringkali tidak sebanding dengan banyaknya lamaran yang masuk.

Tim HRD yang kecil dengan tumpukan pekerjaan seleksi yang besar, ditambah tugas-tugas lain di luar rekrutmen, bisa membuat mereka kewalahan. Komunikasi dengan setiap pelamar, termasuk memberikan notifikasi penolakan, menjadi tugas yang sangat memakan waktu. Dalam situasi ini, mereka mungkin memprioritaskan komunikasi hanya dengan kandidat yang lolos ke tahap selanjutnya atau yang diterima, sementara sisanya terpaksa tidak terinfo. Ini bukan berarti mereka sengaja tidak peduli, tapi lebih kepada keterbatasan operasional yang mereka hadapi.

Perubahan Prioritas atau Internal Perusahaan yang Mendadak

Dunia bisnis itu dinamis. Seringkali, proses rekrutmen yang sudah berjalan tiba-tiba harus berhenti atau berubah arah karena perubahan prioritas atau kondisi internal perusahaan yang mendadak. Misalnya, posisi yang dibuka bisa saja dibatalkan karena restrukturisasi organisasi, pembekuan anggaran, atau karena ada karyawan internal yang ternyata mengisi posisi tersebut. Bisa juga target proyek bergeser, membuat posisi yang awalnya dibutuhkan jadi tidak relevan lagi.

Ketika hal ini terjadi, tim HRD mungkin juga belum mendapatkan instruksi yang jelas dari manajemen atau merasa tidak etis untuk mengumumkan pembatalan posisi secara luas sebelum ada keputusan final. Akibatnya, mereka memilih untuk menunda komunikasi, dan dalam banyak kasus, penundaan itu berujung pada keheningan tanpa kabar sama sekali. Bagi mereka, mungkin lebih mudah untuk diam daripada menyampaikan kabar yang belum pasti atau kabar buruk.

Kurangnya Komunikasi Internal dan Feedback yang Terlambat

Proses rekrutmen tidak hanya melibatkan HRD, tetapi juga manajer pengguna (hiring manager) yang akan menjadi atasan langsung dari posisi yang dicari. Seringkali, ghosting terjadi karena kurangnya komunikasi internal atau lambatnya feedback dari manajer pengguna. HRD sudah menunggu keputusan atau persetujuan dari manajer terkait, tapi feedback tak kunjung datang atau terlalu lama.

Manajer pengguna mungkin juga sibuk dengan tugas-tugas inti mereka dan tidak menjadikan proses rekrutmen sebagai prioritas utama. Ini membuat HRD tidak bisa memberikan kabar kepada pelamar karena mereka sendiri tidak punya informasi yang pasti. Akhirnya, pelamar jadi korban dari alur komunikasi internal yang tersendat, menunggu kabar yang tidak pernah datang. Situasi ini menunjukkan bahwa ghosting kadang bukan niat jahat, melainkan akibat dari sistem internal yang kurang efektif.

Menghindari Konfrontasi atau Potensi Reaksi Negatif

Beberapa HRD mungkin memilih untuk tidak memberikan feedback penolakan karena ingin menghindari konfrontasi atau potensi reaksi negatif dari pelamar. Memberikan kabar penolakan, terutama setelah proses yang panjang, bisa memicu pertanyaan, argumen, atau bahkan keluhan dari kandidat yang kecewa. Untuk menghindari hal-hal tersebut, ghosting seringkali dianggap sebagai jalan keluar yang "aman", meskipun tentu saja tidak etis.

Ada juga kekhawatiran terkait potensi tuntutan atau masalah hukum jika feedback yang diberikan dianggap diskriminatif atau tidak profesional. Meskipun ini jarang terjadi, ketakutan akan hal itu bisa membuat beberapa HRD memilih untuk diam seribu bahasa. Ini adalah praktik yang merugikan, karena pelamar berhak mendapatkan kejelasan, bahkan jika itu adalah kabar buruk.

Fenomena ghosting HRD memang menyakitkan bagi pencari kerja. Ini adalah masalah kompleks yang berakar pada berbagai faktor, mulai dari keterbatasan sumber daya, dinamika internal perusahaan, hingga kekhawatiran akan konfrontasi. Meskipun sulit untuk mengubah praktik ini secara instan, pemahaman mengenai alasan di baliknya setidaknya bisa memberikan sedikit perspektif bagi para pencari kerja. 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved