Sumber foto: iStock

Kolak Bukan Sekadar Takjil, Ini Sejarah dan Filosofi Mendalam di Baliknya!

Tanggal: 11 Mar 2025 19:38 wib.
Kolak, makanan manis yang menjadi favorit bagi banyak orang saat berbuka puasa, sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi Ramadan di Indonesia. Makanan ini biasanya terdiri dari irisan pisang, singkong, dan ubi yang dimasak dengan gula aren serta santan. Kolak tidak hanya sekadar hidangan, tetapi juga menyimpan sejarah panjang dan makna budaya yang dalam.

Jejak awal kehadiran kolak bisa ditelusuri hingga zaman Kerajaan Hindu-Buddha. Sejak tahun 902 Masehi, Prasasti Watukura yang ditemukan di Jawa mencatat bahwa makanan sejenis telah dinikmati oleh masyarakat pada masa itu. Hal ini menunjukkan bahwa kolak bukanlah makanan baru; melainkan telah menjadi bagian dari tradisi kuliner yang mengakar di tanah Jawa selama berabad-abad.

Mengacu kepada situs Historia, kata "kolak" sendiri berasal dari bahasa Arab. Ada yang berpendapat bahwa istilah ini berasal dari "kul laka" yang berarti "makanlah," dan ada juga yang mengaitkannya dengan istilah "Khalaqa" yang berarti "menciptakan." Terlepas dari asal-usul kata tersebut, yang jelas adalah kolak telah bertransformasi menjadi simbol perpaduan antara budaya lokal dan Timur Tengah. Kebudayaan dari kawasan Timur Tengah yang kerap menyukai makanan manis bersinergi dengan bahan-bahan lokal Indonesia, seperti santan, ubi, dan kolang-kaling, yang menjadi komponen utama dalam pembuatan kolak.

Salah satu aspek menarik dari makanan ini adalah filosofi yang terkandung di dalamnya. Sebagai contoh, penggunaan pisang kepok dalam kolak. Pisang kepok, dalam pandangan beberapa kalangan, terkait dengan istilah "kapok," yang berarti menimbulkan efek jera. Ini menunjukkan bahwa kolak, selain lezat, juga bisa dijadikan pengingat bagi orang-orang untuk bertindak benar dalam kehidupan sehari-hari.

Santan, yang menjadi bahan penting dalam kolak, juga memiliki makna tersendiri. Sejarawan Fadly Rahman menyebutkan bahwa penggunaan santan ini merupakan bentuk ungkapan syukur kepada Tuhan. Dalam pandangan orang Jawa, pohon kelapa—sumber utama santan—adalah "pohon kehidupan." Fadly menjelaskan bahwa pohon kelapa disebut sebagai "the tree of life" di banyak daerah di Asia Tenggara, karena hampir semua bagiannya bisa dimanfaatkan oleh manusia. Dari buahnya, santan, hingga batangnya yang digunakan untuk berbagai keperluan.

Kehadiran kolak dalam tradisi buka puasa menciptakan ikatan sosial yang kuat di kalangan masyarakat. Momen berbuka puasa seringkali dimanfaatkan untuk berkumpul bersama keluarga atau berbagi rezeki dengan tetangga dan teman-teman. Dalam suasana kebersamaan itu, kolak menjadi makanan yang menambah kehangatan dan kasih sayang, mengingatkan kita akan pentingnya berbagi.

Kolak juga menunjukkan keberagaman bahan baku yang bisa digunakan. Selain pisang, singkong, dan ubi, ada varian lain seperti kolak biji salak yang terbuat dari tepung ketan dan bola-bola klepon yang mungkin diisi dengan gula merah. Varian ini menunjukkan kreatifitas masyarakat dalam mengolah makanan tradisional, serta bagaimana kolak dapat disesuaikan dengan ketersediaan bahan yang berbeda-beda di sejumlah daerah.

Seiring berjalannya waktu, popularitas kolak semakin meluas. Saat ini, banyak penjual kolak yang menjajakan dagangan mereka sepanjang bulan Ramadan dengan berbagai variasi rasa dan bahan. Fenomena tersebut membuktikan bahwa kolak tidak hanya populer di kalangan masyarakat Jawa, tetapi juga di seluruh Indonesia. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, kolak telah menjadi makanan yang diekspor dan diperkenalkan ke pasar internasional, merepresentasikan kekayaan kuliner Indonesia.

Dalam berbuka puasa, nutrisi dalam kolak juga tak bisa diabaikan. Kombinasi antara karbohidrat dari singkong, ubi, dan pisang, ditambah dengan lemak sehat dari santan, membuat kolak menjadi hidangan yang tidak hanya menggugah selera tetapi juga memberi energi yang cukup setelah seharian berpuasa. Dengan rasa manisnya yang alami dari gula aren, kolak menjadi pilihan yang lebih sehat dibandingkan makanan manis yang menggunakan pemanis buatan.

Keberadaan kolak tidak lepas dari pelaksanaan tradisi Ramadan yang penuh makna. Pada akhir bulan suci ini, ketika Idul Fitri tiba, kolak juga sering dihidangkan, melanjutkan tradisi berbagi kebahagiaan dalam bentuk makanan. Oleh karena itu, kolak bukan hanya sekadar hidangan, tetapi merupakan simbol dari rasa syukur, kebersamaan, dan pelestarian budaya yang terus diwariskan dari generasi ke generasi.

Dengan semua aspek tersebut, kolak patut mendapatkan pengakuan sebagai salah satu hidangan yang menjembatani antara masa lalu dan masa kini. Melalui proses akulturasi yang sempurna antara warisan budaya lokal dan pengaruh dari luar, kolak layak untuk terus dipertahankan dan dihargai sebagai salah satu kekayaan kuliner Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa makanan dapat menjadi sarana untuk memahami sejarah dan filosofi kehidupan di baliknya.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved