Saksi Kunci Penembakan Warga oleh Polisi di Kalteng Dituntut 15 Tahun Penjara
Tanggal: 14 Mei 2025 20:38 wib.
Tampang.com | Muhammad Haryono, seorang sopir taksi yang menjadi saksi kunci dalam kasus penembakan warga oleh anggota polisi di Kalimantan Tengah, justru menghadapi tuntutan pidana berat. Meski berstatus sebagai saksi terlindung dan justice collaborator, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut Haryono dengan hukuman penjara 15 tahun karena dianggap turut terlibat dalam tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang berujung pada hilangnya nyawa seseorang.
Dakwaan Sama, Hukuman Berbeda
Sidang pembacaan tuntutan terhadap Haryono (MH) dan Brigadir Anton Kurniawan Stiyanto (AKS) digelar terpisah di Pengadilan Negeri Palangka Raya, Rabu (14/5/2025). Keduanya dijerat dengan Pasal 365 Ayat 4 KUHP tentang pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian serta Pasal 181 Jo 55 Ayat 1 KUHP tentang keterlibatan dalam menyembunyikan kejahatan.
JPU Dwinanto Agung Wibowo menjelaskan bahwa tuntutan terhadap MH mempertimbangkan statusnya sebagai saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum. “Karena dia merupakan saksi terlindung dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), maka kami memberikan tuntutan lebih ringan dibanding Brigadir AKS, yaitu 15 tahun penjara,” ujarnya.
Pembelaan Pengacara: “Bahasa Bersekutu Tidak Tepat”
Pihak kuasa hukum Haryono, Parlin Bayu Hutabarat, menyatakan keberatan atas tuntutan yang dijatuhkan. Ia menilai JPU keliru menempatkan Haryono seolah berada di posisi yang sejajar dengan Brigadir AKS.
“Kami keberatan dengan penggunaan istilah 'bersekutu' dalam dakwaan, karena fakta persidangan menunjukkan posisi dan peran MH jauh berbeda,” ujar Parlin. Ia menambahkan bahwa tuntutan berdasarkan Pasal 365 Ayat 4 KUHP juga tidak tepat diterapkan karena unsur kekerasan dalam pasal tersebut tidak sesuai dengan peristiwa penembakan yang dilakukan langsung ke kepala korban.
Status Justice Collaborator Tidak Jadi Jaminan
Parlin menyoroti bahwa meskipun kliennya membantu mengungkap kasus yang melibatkan aparat, peran sebagai justice collaborator belum memberikan dampak signifikan terhadap keringanan hukuman. “Kemarin polisi bilang MH bukan pahlawan, dan hari ini jaksa tetap menuntut 15 tahun. Kami keberatan dan akan menyampaikan seluruh argumentasi dalam nota pembelaan,” jelasnya.
Meski demikian, ia tetap mengapresiasi langkah jaksa yang mempertimbangkan rekomendasi dari LPSK, yang mengakui bahwa MH adalah saksi penting yang layak mendapat perlindungan.
Tanggung Jawab atau Ketidakadilan?
Kasus ini memunculkan perdebatan publik mengenai posisi saksi pelaku dalam sistem peradilan Indonesia. Di satu sisi, keberanian Muhammad Haryono untuk bersaksi membongkar keterlibatan aparat dalam tindak kriminal patut diapresiasi. Namun di sisi lain, ia tetap harus menanggung konsekuensi hukum yang berat atas keterlibatannya.
Apakah hukuman 15 tahun penjara ini mencerminkan keadilan? Ataukah justru melemahkan semangat whistleblower lain untuk bersuara? Jawaban atas pertanyaan itu kini ada di tangan majelis hakim, yang akan membacakan vonis dalam sidang berikutnya.