Mimpi Jadi Gaji Besar, Nyata Jadi Penipu: Kisah Tragis Anak Muda RI Dijebak Lowongan Kerja Palsu
Tanggal: 1 Jun 2025 10:04 wib.
Fenomena penipuan lowongan kerja kembali memakan korban, kali ini menimpa sejumlah anak muda asal Indonesia yang dijebak dan dipaksa menjadi pelaku kejahatan siber di Asia Tenggara. Laporan terbaru dari Rest of World menggambarkan betapa parahnya jaringan penipuan ini, yang berakar dari modus lowongan kerja palsu di media sosial seperti Telegram dan Facebook.
Komisioner Hak Asasi Manusia, Anis Hidayah, mengungkap bahwa ribuan iklan pekerjaan yang beredar tersebut sebagian besar berkaitan dengan bidang teknologi informasi (IT), namun nyatanya hanya umpan untuk menjebak korban. "Umumnya mereka yang sudah memiliki paspor direkrut dengan cepat tanpa pelatihan layak. Hanya dilatih dua hari lalu langsung bekerja," ujar Anis.
Salah satu kisah memilukan datang dari seorang pria berusia 26 tahun, lulusan IT asal Sumatera Barat. Ia menemukan lowongan kerja yang menjanjikan posisi sebagai spesialis optimasi mesin pencari di sebuah perusahaan saham yang diklaim berbasis di Singapura. Proses rekrutmen dilakukan melalui Telegram, dan ia dijanjikan gaji USD 800 atau sekitar Rp13 juta per bulan serta bekerja di cabang perusahaan yang berlokasi di Kamboja.
Namun begitu tiba di Phnom Penh, kenyataan pahit langsung menamparnya. Paspor miliknya disita dan ia digiring ke sebuah kompleks yang dijaga ketat oleh pria bersenjata. Di sana, ia dipaksa bekerja selama 15 jam sehari sebagai penipu digital, dengan target bulanan menipu korban senilai USD 40.000 atau sekitar Rp651 juta. Ironisnya, gaji yang ia terima bahkan jauh dari janji awal—kurang dari setengahnya.
Cerita serupa juga dialami Dicky Wahyudin, pemuda 25 tahun asal Jawa Barat. Dicky menemukan lowongan kerja sebagai staf pemasaran di perusahaan e-commerce ternama, Lazada, yang diiklankan melalui Telegram. Gaji yang dijanjikan serupa, USD 800 per bulan, dengan lokasi kerja di Bangkok, Thailand.
Namun, begitu tiba di Bandara Bangkok, alih-alih disambut sebagai karyawan baru, Dicky malah diculik dan dibawa ke Myanmar. Di sanalah mimpi buruk dimulai. Ia diharuskan menipu pengguna aplikasi kencan asal China dan membujuk mereka untuk menghabiskan hingga USD 10.000 atau sekitar Rp162 juta per bulan di platform e-commerce palsu.
Beruntung, Dicky berhasil melarikan diri pada Januari lalu dan kini telah kembali ke tanah air. Ia memulai hidup baru sebagai kreator konten di Bandung, Jawa Barat. Namun, trauma atas pengalaman buruk itu masih membekas.
Rest of World juga mewawancarai tujuh mantan korban lainnya yang mengalami kisah serupa. Mereka semua menyampaikan bahwa begitu tiba di lokasi kerja yang dijanjikan, semua dokumen penting mereka, seperti paspor dan ponsel, langsung disita. Mereka bekerja dalam pengawasan ketat, dengan gaji rendah dan tekanan tinggi untuk memenuhi target penipuan.
Bila gagal mencapai target, mereka diancam akan "dijual" ke pusat penipuan lain yang jauh lebih keras. Dalam banyak kasus, pusat-pusat kejahatan ini beroperasi dengan struktur yang mirip penjara, lengkap dengan penjaga bersenjata dan sanksi fisik.
Fenomena ini mencerminkan lemahnya sistem pengawasan terhadap iklan lowongan kerja digital dan minimnya kesadaran masyarakat akan bahaya penipuan rekrutmen kerja. Menurut pakar keamanan siber dan peneliti ketenagakerjaan, jaringan sindikat ini memanfaatkan celah sosial dan ekonomi di negara berkembang untuk mengincar pemuda yang putus asa mencari pekerjaan bergaji tinggi di luar negeri.
Kasus-kasus ini juga membuka mata publik terhadap sisi gelap dunia maya yang semakin kompleks. Bukan hanya hacker atau malware, kini ancaman datang dari jaringan perekrutan palsu yang menjadikan manusia sebagai pion kejahatan digital global.
Bagi para korban, perjuangan belum usai. Selain harus menyembuhkan luka psikologis, banyak dari mereka yang kini menghadapi kesulitan hukum atau stigma sosial karena sempat terlibat dalam aktivitas ilegal, meskipun mereka sendiri sejatinya adalah korban.
Pemerintah Indonesia pun didesak untuk segera memperkuat edukasi publik soal literasi digital dan bahaya penipuan lowongan kerja online. Selain itu, perlu ada kerja sama regional antarnegara ASEAN untuk membongkar sindikat lintas negara ini.
Para calon pencari kerja juga diimbau untuk selalu mengecek keabsahan lowongan kerja, menghindari proses rekrutmen yang tidak transparan, serta mewaspadai tawaran yang terlalu muluk. Hindari menyerahkan dokumen pribadi seperti paspor atau data penting tanpa proses yang resmi dan jelas.
Kisah-kisah seperti yang dialami pemuda dari Sumatera Barat dan Dicky Wahyudin hanyalah dua dari sekian banyak tragedi yang terjadi karena ketidaktahuan, keputusasaan, dan jebakan digital yang kian canggih. Dalam dunia kerja digital saat ini, kehati-hatian bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.