Sumber foto: Google

Kasus Pembunuhan Anak Lima Tahun di Lebak, Berawal dari Pesan Ancaman Yang Jadi Kenyataan, Bagaimana Kronologi dan Apa Motifnya?

Tanggal: 26 Sep 2024 19:36 wib.
Polisi telah menangkap lima tersangka kasus penculikan dan pembunuhan APH, bocah perempuan berusia lima tahun yang ditemukan tewas dengan kondisi kepalanya ditutupi lakban di Lebak, Banten.

Sebelum pembunuhan itu terjadi, orang tua korban sempat menerima pesan ancaman. Polisi awalnya mengaku bahwa orang tua korban pernah melapor, namun belakangan pernyataan itu disanggah oleh polisi sendiri.

Pengamat kepolisian dan hukum pidana menyayangkan hal itu. Menurut mereka, kasus ini dapat dicegah andai informasi soal ancaman tersebut ditindaklanjuti oleh polisi. APH ditemukan tak bernyawa di Pantai Cihara pada Kamis (19/09/2024) setelah hilang selama dua hari. Hasil penyidikan polisi sejauh ini mengungkap bahwa APH dibunuh di sebuah gudang di sebelah rumahnya.

Kelima tersangka pembunuhan itu yakni SA (33), EM (23), RH (38), UH (22), dan YH (32). Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Cilegon AKP Hardi Meidikson mengatakan bahwa para tersangka mulanya menargetkan untuk membunuh ibu dari APH.

“Namun karena tidak terlaksana pada hari Minggu sebelum kejadian tanggal 17 September itu, mereka juga sudah merencanakan untuk mengeksekusi korban,” kata Hardi.

Sekitar satu bulan sebelumnya, ayah dan ibu APH sempat menerima pesan ancaman penculikan dan pembunuhan melalui WhatsApp. Kapolres Cilegon AKBP Kemas Indra Natanegara mengakui bahwa ancaman itu sempat dilaporkan kepada mereka. Namun belakangan, Hardi mengeklaim bahwa ayah korban tidak jadi melaporkan ancaman itu. Menurut Hardi, pesan ancaman itu pula yang menjadi petunjuk polisi untuk mengungkap tersangka pembunuhan.

"Memang yang mengancam adalah SA dan RH, mereka pakai nomor lain untuk mengancam dan mereka sudah mengakui," tutur Hardi ketika dihubungi, Selasa (24/09).

Orang tua korban pun rencananya akan diperiksa sebagai saksi pada Selasa ini, Apa saja yang telah diketahui perihal pembunuhan APH sejauh ini?

Menurut Hardi, para tersangka telah merencanakan pembunuhan ini sejak satu bulan sebelum kejadian. Awalnya mereka menargetkan untuk membunuh ibu dari APH, namun karena rencana itu tidak terlaksana, akhirnya para tersangka menargetkan APH. Pada Selasa (17/09), tersangka SE dan EM bersembunyi di kontrakan di sebelah kamar APH.

“Itu hanya lima langkah dari kamar korban ke tempat yang sekarang itu dipakai sebagai gudang. Jadi pelaku SA dan EM sudah bersembunyi di situ untuk mengintai,” kata Hardi.

Ketika ibu korban keluar rumah, SA dan EM disebut langsung keluar dari persembunyian dan menculik korban. SA kemudian membekap mulut korban menggunakan telapak tangan. Karena si korban yang melawan dan pelaku digigit, akhirnya korban ditutup menggunakan lakban, ujar Hardi.

SA kemudian memukul, membekap, hingga menduduki kepala korban. EM disebut turut membantu SA melakban korban, memegangi tubuhnya, dan menduduki wajah korban. Sampai akhirnya korban sudah tidak sadarkan diri dan sempat dimasukkan ke dalam kontainer box, setelah dimasukkan ke kontainer dipindahkan ke dalam tas ransel, kata Hardi.

Setelah menyadari bahwa korban sudah meninggal, SA dan EM menghubungi tersangka RH untuk mengalihkan fokus orang tua korban. Hardi mengatakan bahwa RH diiming-imingi imbalan Rp50 juta untuk membantu. RH pula yang mengarahkan orang tua korban untuk melapor ke Polres Cilegon.

"Setelah mengarahkan dilaporkan ke sini, barulah pelaku SA dan EM ini keluar dan kemudian mereka berpencar," kata Hardi.

Setelah itu, lanjut Hardi, EM langsung pulang ke kampungnya di Pandeglang. SA membawa korban di dalam tas ransel untuk pergi bersembunyi di daerah Kramatwatu, Serang. Sedangkan UH dan YH ikut membantu mencarikan tempat untuk membuang jasad korban dan membakar barang-barang terkait pembunuhan tersebut.

Esok harinya, para tersangka membuang jasad korban di jembatan di dekat Pantai Cihara, Kabupaten Lebak. Jasad Aqila kemudian ditemukan oleh warga pada Kamis (19/09). Menurut Hardi, para tersangka sempat menuduh seorang penjual martabak sebagai pelaku.

RH bahkan sempat datang ke rumah sakit untuk melihat kondisi jasad korban setelah ditemukan. Saat itu, Hardi mengatakan RH bertingkah seolah tak terjadi apa-apa.

"Ada salah satu pelaku informasinya juga ikut takziah ketika korban ditemukan," ujar Hardi.

Para tersangka dijerat pasal 80 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp3 miliar.

Polisi mengatakan pembunuhan ini dilatari oleh rasa sakit hati SA karena sering ditagih utang oleh ibu dari APH. Menurut Hardi, tersangka SA memiliki utang pinjaman online sebesar Rp75 juta. Pinjaman itu didapat menggunakan identitas dari ibu korban.

"Karena setiap tagihan kan masuknya ke si ibu A, sehingga dia menagih kepada pelaku,” tutur Hardi.

Selain itu, Hardi mengatakan tersangka SA juga dendam karena anaknya kerap dimarahi oleh ibu korban. Sekitar satu bulan sebelum APH diculik dari rumahnya hingga ditemukan tak bernyawa di Pantai Cihara, polisi mengatakan bahwa kedua orang tuanya beberapa kali menerima ancaman melalui pesan Whatsapp.

"Beliau ibu korban sering mendapatkan teror, berupa ancaman di WA. 'Akan saya bunuh', baik anak maupun suami," kata Kapolres Cilegon AKBP Kemas Indra Natanegara pada Jumat (20/09).

Setelah mendapat ancaman pembunuhan itu, ibu dan ayah korban disebut sempat melaporkannya kepada polisi.

"Sempat melaporkan ke kami sudah kita komunikasikan dengan ibu saat itu apabila ibu mendapatkan ancaman silahkan bisa lapor ke kami, kemudian bisa difotokan yang mencurigakan di kantornya," tutur Kemas.

Namun pada Senin (23/09), Kasatreskrim Polres Cilegon AKP Hardi Meidikson mengklarifikasi soal laporan tersebut dan menyebut bahwa orang tua korban “tidak jadi melapor”.

"Jadi pada saat ada ancaman itu memang ayah korban sudah memiliki screenshot yang sudah di-print dan berencana akan melakukan laporan ke Polres, tapi pada saat itu juga ternyata setelah ditunggu itu tidak jadi laporan," kata Hardi.

Hardi mengaku telah mengklarifikasi hal itu kepada ayah korban. Alasannya apa yang kita juga tidak tahu kalaupun ada laporan pasti sudah akan kita tindaklanjuti, karena beberapa laporan terkait pengancaman dan lain sebagainya langsung kita tindaklanjuti, tuturnya.

Hardi mengeklaim bahwa setelah anaknya menghilang, ayah korban baru bercerita soal ancaman tersebut. Kami bilang, coba lihat nomor telepon yang mengancam yang mana? Ditunjukkan lah. Setelah itu kami telusuri, salah satu faktor kami bisa mengungkap dari situ juga, ujar Hardi.

"Jadi bukannya beberapa bulan lalu sudah laporan lalu sudah ditanggapi, itu enggak ada," sambungnya.

Apakah informasi itu sempat diterima polisi, terlepas laporannya masuk atau tidak, Hardi mengatakan harus mengecek lebih dulu.

"Saya harus komunikasikan dulu, karena kebetulan saya juga baru di sini kurang lebih baru satu bulan kurang pas kejadian itu," ujarnya.

Pengamat kepolisian dan hukum pidana sepakat bahwa polisi telah gagal mencegah terjadinya pembunuhan tersebut berbekal informasi soal ancaman yang diterima oleh orang tua korban. Polisi berdalih orang tua korban batal melapor. Namun menurut pengamat kepolisian dari Universitas Islam Indonesia (UII) Eko Riyadi, polisi idealnya tetap mengusut informasi itu.

“Kalau polisi sudah punya informasi valid [mengenai ancaman], bisa dibilang polisi gagal menjalankan kewajibannya,” tutur Eko yang juga menyebut bahwa mengusut pelaku pengancaman melalui pesan WhatsApp adalah tugas yang relatif mudah bagi penyidik. Jadi kalau alasannya belum lapor secara resmi padahal ancaman itu sudah aktual dan polisi sudah tahu, itu menggambarkan paradigma represif polisi, bukan preventif.

Ancaman pembunuhan melalui pesan Whatsapp sudah termasuk ke dalam tindak pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lama maupun yang baru, kata peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftita Sari. Jadi, polisi tetap punya wewenang untuk mengusutnya walau tak ada laporan resmi.

“Secara ideal, polisi semestinya proaktif. Mereka punya kewenangan untuk itu, kecuali untuk kasus-kasus yang sifatnya delik aduan. Kalau konteksnya ancaman penculikan dan pembunuhan, tidak perlu aduan. Mereka bisa memprosesnya,” jelas Iftita.

Ini bukan kasus pertama di mana korban sempat melapor untuk mencari pertolongan kepada polisi, namun laporan itu tidak ditindaklanjuti hingga pelapor atau keluarganya berujung tewas. Pada Desember 2023, empat orang anak di Jagakarsa, Jakarta Selatan tewas dibunuh oleh ayahnya sendiri. Sebelumnya, pelaku telah dilaporkan oleh istrinya ke polisi atas dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Peristiwa serupa juga pernah terjadi di Bekasi pada September 2023. Perempuan berinisial MSD, 24, tewas akibat KDRT yang dilakukan suaminya. Sekitar satu bulan sebelumnya, MSD sempat melaporkan suaminya ke Polres Metro Bekasi. Dia juga melampirkan hasil visum mandiri sebagai bukti.

Pada Mei 2022, perempuan asal Bandung berinisial WS, 30, tewas bersimbah darah. Sebelumnya, WS sempat melapor ke polisi bahwa dia menerima ancaman pembunuhan dari pelaku. Iftita mengatakan rentetan kasus-kasus itu menunjukkan bahwa ada hal krusial yang perlu dibenahi dari kinerja kepolisian sejak menerima pengaduan masyarakat.

Bahkan dalam tahap ini, Iftita mengatakan hampir tak ada pengawasan terhadap kinerja polisi dalam menindaklanjuti pengaduan masyarakat hingga dalam beberapa kasus berdampak fatal seperti ini.

“Banyak aduan yang tidak ditindaklanjuti bahkan pelapor diminta mencari bukti sendiri. Padahal ini langkah awal dalam kinerja kepolisian,” kata Iftita.

Di sisi lain, sumber daya polisi yang tak sebanding dengan laporan yang masuk juga menjadi masalah tersendiri. Tapi dalam hal itu, ICJR juga punya catatan bahwa polisi nyatanya lebih banyak fokus pada kasus-kasus tertentu.

“Kerja polisi selama ini selalu fokus dengan kasus-kasus narkotika demi mengejar target KPI (key performance index) yang notabene gampang penangananya. Akhirnya polisi jadi enggak memprioritaskan kasus-kasus seperti ini,” sambungnya.

Pertanggungjawaban atas aduan yang menguap begitu saja pun dinilai tak cukup jelas.

“Untuk sekarang, penting juga untuk mendorong institusi Polri bertanggung jawab dan akuntabel. Kalau ada kasus yang masyarakat sudah lapor, sudah minta perlindungan, tapi tidak diproses secara kompeten semestinya ada mekanisme yang jalan idealnya,” kata Iftita.

“Entah itu menggugat melalui PTUN atau gugat perdata. Tapi selama ini pun masyarakat tidak aware (sadar) bahwa kita bisa menuntut hak kita sampai sejauh itu,” ujar dia.

Sanksi disiplin terhadap personel yang mengabaikan laporan pun tak pernah disorot secara jelas. Implikasi serius dari kasus ini adalah hilangnya kepercayaan publik terhadap kinerja polisi, kata pengamat kepolisian Bambang Rukminto.

“Karena mereka selalu permisif terhadap anggotanya, dampaknya sangat fatal. Kepercayaan masyarakat ke polisi semakin rendah. Yang paling fatal ya terhadap pelapor sendiri, hilangnya nyawa,” kata Bambang.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved