Jemaah Haji Indonesia Ditarget Kang Tipu di Arab, Harta Habis Terkuras
Tanggal: 16 Jun 2024 17:18 wib.
Setiap tahun, proses ibadah haji selalu menarik perhatian dengan cerita-cerita yang menggugah hati, namun tidak jarang pahit. Salah satu kisah kelam terjadi pada abad ke-19 dan 20, di mana banyak jemaah haji asal Indonesia menjadi korban penipuan orang-orang Arab hingga kehilangan habis harta mereka.
Henry Chambert-loir dalam bukunya Naik Haji di Masa Silam: Kisah-Kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964 (2013) mengisahkan bahwa jemaah haji asal Indonesia pada masa itu seringkali menjadi mangsa penipuan oleh penduduk Arab. Keadaan ini dapat terjadi karena mayoritas dari mereka tidak menguasai bahasa Arab dan kurang pemahaman akan rukun, kewajiban, dan sunah haji.
Dengan kondisi tersebut, para jemaah haji Indonesia menjadi mudah dipengaruhi dan percaya begitu saja pada apa yang dikatakan orang Arab. Chamber Loir bahkan mencatat, bahwa mereka cenderung mengagumi segala sesuatu yang bersifat Arab sementara merendahkan budaya Melayu. Kondisi ini kemudian memunculkan celah bagi warga Arab untuk melakukan tindak penipuan.
Warga Arab memanfaatkan situasi ini untuk memeras jemaah Indonesia, baik dari kalangan syekh, pedagang, maupun orang awam. Disisi lain, mereka punya julukan khusus untuk orang-orang Jawa yang melakukan ibadah haji, seperti "farukha" (jamak kata farkh, yang berarti "ayam itik") dan "baqar" (yang artinya "hewan ternak"), sebagai bentuk penghinaan terhadap orang Jawa tersebut.
Pejabat Belanda yang juga menjalani ibadah haji, Snouck Hurgronje, turut menyoroti masalah ini. Pada tahun 1931, ia mencatat bahwa banyak jemaah haji asal Indonesia dengan tunduk patuh melaksanakan segala tugas di luar agenda haji yang diberikan oleh orang Arab. Hal ini termasuk melakukan ziarah dan ritus-ritus yang tidak wajib, yang kemudian membutuhkan pengeluaran biaya tambahan yang cukup besar. Tidak hanya itu, Hurgronje juga mencatat bahwa orang Arab pandai melihat peluang dalam kepercayaan mitos yang dimiliki orang Indonesia.
Dalam pandangan jemaah haji asal Indonesia, keberadaan di Tanah Suci dianggap sebagai sarana pembersihan diri dari segala dosa. Oleh karena itu, mereka meminta untuk disemprotkan air zamzam sebanyak tiga kali saat tiba di Makkah dan dalam perjalanan pulang dari Madinah. Namun, warga Arab melihat hal ini sebagai oportunisme untuk mendulang keuntungan finansial. Mereka meminta bayaran kepada para jemaah yang tidak menyadari bahwa air zamzam seharusnya diperoleh secara gratis.
Selain itu, Hurgronje juga menyoroti kasus penipuan yang dilakukan dengan dalih penitipan uang. Banyak jemaah haji asal Indonesia membawa sejumlah uang sebagai bekal perjalanan, badal haji, atau untuk diserahkan kepada keluarga di Makkah. Oleh para penipu, uang ini kemudian dititipkan kepada seorang syekh haji. Namun, setelah dititipkan, uang tersebut sulit untuk dikembalikan atau jika kembali, seringkali dipotong komisi dan disalahgunakan.
Selain Snouck, Bupati Bandung, R.A Wiranatakusumah, juga mencatat pengalaman serupa dalam catatan perjalanannya yang berjudul "Seorang Bupati Naik Haji". Ketika pergi haji pada 1924, Wiranatakusumah menyaksikan banyak jemaah haji Indonesia menjadi korban pembohongan orang Arab dan disuruh melakukan hal-hal yang tak masuk akal. Menurutnya, di Makkah, penipu mudah melakukan perbuatannya.
Pada suatu waktu, beberapa orang Indonesia disuruh seorang penipu untuk mengumpulkan uang yang akan diwakafkan ke masjid. Sungguh ironis, karena mereka percaya bahwa wakaf memiliki pahala yang besar, sehingga tanpa ragu mereka menyerahkan uang kepada si penipu. Orang Arab tersebut kemudian menjadikan tiang Masjidil Haram sebagai simbol wakaf dengan harga 300 real, yang pada akhirnya menjadi tindakan penipuan.
Perilaku orang Arab yang memanfaatkan ketidaktahuan jemaah haji asal Indonesia untuk melakukan penipuan, menyebabkan kehilangan besar bagi mereka. Kasus ini kemudian menjadi catatan penting bagi jemaah haji di masa-masa selanjutnya. Bahkan, R.A Wiranatakusumah dalam catatan perjalanan tersebut menyarankan agar jemaah Indonesia tidak membawa uang berlebih untuk menghindari kasus penipuan.