Varian NB.1.8.1 COVID-19: Apakah Ancaman Baru di Tengah Pandemi yang Belum Usai?
Tanggal: 8 Jun 2025 18:28 wib.
Kasus baru COVID-19 dengan kode NB.1.8.1, turunan dari varian Omicron, kini mulai menunjukkan peningkatan di beberapa negara. Data terbaru dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengonfirmasi bahwa varian ini mulai menjadi perhatian global, meskipun risikonya masih dikategorikan rendah untuk saat ini.
Meski di Amerika Serikat kasus varian NB.1.8.1 belum mencapai jumlah signifikan untuk dimasukkan dalam pelacak varian COVID-19 oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC), tren kenaikannya patut diwaspadai. Varian ini pertama kali terdeteksi pada 22 Januari 2025, dan pada 23 Mei 2025 WHO resmi memasukkannya ke dalam kategori “variant under monitoring” atau varian yang harus mendapat pengawasan ketat.
Gejala yang ditimbulkan oleh NB.1.8.1 sejauh ini mirip dengan varian COVID-19 sebelumnya, yaitu demam, pusing, batuk, sakit tenggorokan, mual, muntah, dan nyeri sendi. Tidak ada tanda-tanda gejala yang lebih berat atau berbeda secara signifikan. Namun, peningkatan kasus tetap menjadi fokus utama para ahli.
Sejak kemunculan Omicron pada tahun 2021, ratusan subvarian telah muncul dan menyebar di seluruh dunia. Meskipun demikian, belum ada satu subvarian pun yang menyebabkan lonjakan kasus setinggi gelombang puncak pandemi sebelumnya. Data WHO per tanggal 18 Mei 2025 mencatat ada 518 kasus varian NB.1.8.1 di 22 negara. Dalam empat pekan terakhir, proporsi varian ini meningkat dari 2,5% menjadi 10,7% dari seluruh kasus global.
Menurut Dr. Todd Ellerin, Kepala Penyakit Menular di South Shore Health, COVID-19 memiliki karakteristik unik karena dapat mengalami lonjakan kasus baik di musim panas maupun musim dingin, berbeda dengan virus pernapasan lain yang biasanya hanya meningkat di musim tertentu. Namun, ia juga mengingatkan bahwa masih terlalu dini untuk memastikan apakah varian NB.1.8.1 akan menyebabkan gelombang baru di musim panas mendatang.
Di beberapa negara yang mencatat peningkatan signifikan varian ini, memang terjadi peningkatan jumlah kasus dan pasien yang memerlukan rawat inap. Meski begitu, belum ditemukan bukti kuat yang menunjukkan varian NB.1.8.1 menyebabkan gejala yang lebih parah dibandingkan varian lain yang sudah ada.
John Brownstein, Chief Innovation Officer di Boston Children's Hospital dan kontributor berita ABC News, menjelaskan bahwa sejauh ini, setiap varian baru COVID-19 belum mengubah tingkat keparahan penyakit secara signifikan. Namun, bila varian tersebut lebih mudah menular, tentu saja jumlah infeksi akan meningkat, yang secara tidak langsung meningkatkan risiko rawat inap dan kematian.
Brownstein menambahkan bahwa data dari China dan negara lain tidak menunjukkan ada perbedaan mencolok pada gejala varian ini dibandingkan varian sebelumnya, kecuali peningkatan kemampuan penularannya. Mutasi yang terjadi pada protein permukaan virus diduga memperkuat daya tular varian ini, bahkan mungkin membuatnya sedikit lebih sulit dikendalikan daripada varian sebelumnya.
Meskipun demikian, WHO tetap meyakini bahwa vaksin COVID-19 yang sudah tersedia masih efektif melawan varian NB.1.8.1. Ini menegaskan pentingnya vaksinasi dan booster sebagai langkah utama perlindungan masyarakat.
Brownstein menekankan bahwa pola munculnya varian-varian baru memang sudah menjadi siklus alami virus ini. Oleh karena itu, rekomendasi utama tetap sama, yaitu memastikan masyarakat mendapatkan vaksinasi lengkap dan booster sesuai anjuran.
Untuk kelompok yang berisiko tinggi, seperti mereka dengan sistem imun yang lemah, perlindungan ekstra sangat dianjurkan. Langkah seperti menggunakan masker di tempat umum atau menghindari kerumunan besar menjadi cara efektif untuk meminimalkan risiko infeksi.
Situasi ini mengingatkan kita bahwa meskipun pandemi sudah melewati fase puncak, virus terus bermutasi dan beradaptasi. Oleh sebab itu, kewaspadaan tetap harus dijaga, terutama dengan menjaga protokol kesehatan dan mendukung program vaksinasi nasional.