Ular sebagai Sumber Protein Masa Depan? Temuan Ilmuwan yang Mengejutkan!
Tanggal: 5 Apr 2025 19:20 wib.
Ketahanan pangan menjadi tantangan global yang semakin mendesak seiring dengan meningkatnya populasi dunia. Banyak negara kini berupaya mencari alternatif sumber pangan yang lebih berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan protein manusia.
Menurut Monika Zurek, seorang peneliti sistem pangan dari University of Oxford, salah satu permasalahan utama yang perlu segera diatasi adalah bagaimana mendapatkan sumber protein yang mencukupi bagi populasi yang terus bertambah, tanpa menimbulkan dampak lingkungan yang besar.
Saat ini, pola konsumsi manusia, terutama di negara-negara Barat, memberikan tekanan besar terhadap lingkungan. Industri peternakan sapi, misalnya, diketahui menyumbang sekitar 10 persen dari total emisi gas rumah kaca dunia. Selain itu, pembukaan lahan untuk peternakan berkontribusi terhadap deforestasi yang semakin memperparah perubahan iklim.
Tidak hanya sapi, industri peternakan babi dan ayam juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Limbah yang dihasilkan dari peternakan babi berkontribusi terhadap pencemaran air, sementara peternakan ayam juga memiliki jejak ekologis yang cukup besar.
Ular sebagai Alternatif Protein Ramah Lingkungan
Dan Natusch, seorang peneliti dari Macquarie University, mengusulkan ide yang cukup unik: menjadikan ular sebagai sumber protein alternatif yang lebih ramah lingkungan. Dalam penelitiannya, Natusch bekerja sama dengan peternakan piton komersial di Vietnam dan Thailand untuk meneliti perbedaan antara ular hasil ternak dan ular liar.
Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Scientific Report ini menemukan bahwa ular sanca yang diternak memiliki pertumbuhan yang sangat cepat. Sebagai seorang ahli biologi ular, Natusch telah lama mengetahui bahwa spesies ini memiliki fisiologi yang luar biasa. Namun, setelah bekerja sama dengan peternak dan memonitor pertumbuhan mereka, semakin jelas bahwa ular sanca memiliki keunggulan unik dibandingkan sumber protein lainnya.
Salah satu faktor utama yang mendukung pertumbuhan pesat ular sanca adalah sifat mereka sebagai hewan berdarah dingin (ektotermal). Berbeda dengan mamalia yang harus menghasilkan panas tubuh secara internal, ular bergantung pada suhu lingkungan. Hal ini berarti hampir seluruh asupan nutrisi yang dikonsumsi ular dapat diubah menjadi massa tubuh, menjadikannya sumber protein yang sangat efisien.
Dalam penelitian lebih lanjut, Natusch dan timnya menganalisis efisiensi konversi energi pada dua jenis ular sanca yang diternakkan, yaitu sanca kembang (Malayopython reticulatus) dan sanca bodo (Python bivittatus). Mereka mengamati jenis pakan yang dikonsumsi, tingkat pertumbuhan, serta efisiensi konversi energi yang terjadi.
Salah satu temuan menarik dari penelitian ini adalah kemampuan ular sanca untuk bertahan dalam kondisi tanpa makanan dalam jangka waktu yang lama. Bahkan, ular ini dapat bertahan selama beberapa bulan tanpa mengalami penurunan berat badan yang signifikan. Ketahanan ini dianggap sebagai faktor yang sangat penting, terutama dalam menghadapi krisis pangan global seperti yang terjadi pada awal pandemi Covid-19. Pada saat itu, banyak peternak kesulitan mendapatkan pakan bagi ternak mereka dan menghadapi hambatan dalam mendistribusikan hasil peternakan mereka ke pasar.
Menurut Natusch, peternakan ular sanca bisa menjadi solusi potensial untuk mengatasi kekurangan protein di berbagai belahan dunia, terutama di wilayah yang mengalami krisis pangan seperti Afrika. Dengan efisiensi konversi energi yang tinggi dan ketahanan terhadap kondisi ekstrem, ular sanca dapat menjadi alternatif yang layak untuk memenuhi kebutuhan protein manusia di masa depan.
Tantangan dan Hambatan dalam Konsumsi Daging Ular
Meskipun hasil penelitian ini cukup menjanjikan, Monika Zurek mengingatkan bahwa masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai dampak lingkungan serta kandungan nutrisi dari daging ular sebelum menjadikannya sebagai sumber pangan utama. Selain itu, ada tantangan budaya yang harus diatasi, mengingat tidak semua masyarakat terbiasa atau bersedia mengonsumsi daging ular.
Namun, Natusch menegaskan bahwa konsumsi daging ular sebenarnya bukanlah hal yang asing di berbagai belahan dunia. Di Asia Tenggara, Asia Timur, Amerika Selatan, dan Afrika, miliaran orang sudah secara rutin mengonsumsi daging ular sebagai bagian dari pola makan mereka. Tantangan terbesar justru datang dari masyarakat Barat yang belum banyak terekspos terhadap jenis makanan ini.
Menurutnya, daging ular sanca memiliki rasa yang cukup lezat dan fleksibel dalam berbagai olahan masakan. Oleh karena itu, dengan edukasi dan strategi pemasaran yang tepat, daging ular bisa menjadi salah satu solusi inovatif dalam upaya ketahanan pangan global.
Dalam menghadapi tantangan ketahanan pangan global, inovasi dalam sumber protein alternatif menjadi hal yang sangat penting. Ular sanca menawarkan potensi sebagai sumber protein yang lebih efisien dan ramah lingkungan dibandingkan peternakan konvensional. Dengan penelitian lebih lanjut serta penerimaan yang lebih luas dari masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa di masa depan, daging ular bisa menjadi bagian dari solusi ketahanan pangan dunia.