Stok Obat Masih Bergantung Impor, Kapan Industri Farmasi Kita Berdikari?
Tanggal: 8 Mei 2025 10:21 wib.
Tampang.com | Pandemi COVID-19 sempat menjadi pengingat keras: ketersediaan obat nasional bisa terguncang jika pasokan luar negeri tersendat. Sayangnya, hingga 2025 ini, sekitar 90% bahan baku obat di Indonesia masih diimpor.
Ketergantungan Tinggi, Risiko Semakin Besar
Menurut data dari Kementerian Kesehatan dan BPOM, Indonesia saat ini masih mengimpor bahan baku obat (BBO) terutama dari Tiongkok dan India. Ketika negara asal mengalami lockdown atau pembatasan ekspor, stok obat dalam negeri ikut terdampak.
“Kita bisa bikin tablet paracetamol, tapi bahan aktifnya tetap impor,” ujar dr. Hartono, peneliti bidang farmasi di LIPI.
Industri Lokal Terhambat Regulasi dan Investasi
Padahal, Indonesia memiliki potensi besar memproduksi BBO sendiri, terutama dari sumber hayati dan kimia lokal. Namun pengembangan bahan baku lokal masih terhambat birokrasi panjang, lemahnya dukungan riset industri, dan minimnya investasi dari sektor swasta.
Pabrik farmasi yang ada sebagian besar hanya melakukan tahap formulasi akhir, bukan produksi bahan aktif (API). Ini menyebabkan margin keuntungan kecil dan ketergantungan tinggi pada impor.
Program Kemandirian Masih Lambat
Pemerintah sudah meluncurkan Program Kemandirian Farmasi sejak 2020, tapi realisasinya lamban. Beberapa pabrik BBO dalam negeri masih dalam tahap pilot project atau terkendala izin dan modal.
Butuh Kolaborasi dan Keberanian Kebijakan
Menurut pengamat industri kesehatan, Andini Wijaya, perlu keberanian dari pemerintah untuk memberi insentif nyata, proteksi terhadap produk lokal, dan mendorong kolaborasi antara industri, universitas, dan negara.
“Tanpa roadmap jangka panjang yang konkret, kita akan terus jadi pasar, bukan produsen,” ujarnya.
Kesimpulan
Indonesia harus berani berinvestasi pada kemandirian farmasi, bukan hanya demi ekonomi, tapi untuk ketahanan kesehatan nasional. Obat adalah kebutuhan strategis, bukan komoditas biasa.