Stok Obat di Puskesmas Menipis, Benarkah Sistem Distribusi Masih Amburadul?
Tanggal: 10 Mei 2025 11:56 wib.
Tampang.com | Banyak pasien BPJS di sejumlah daerah mengeluhkan kekosongan obat di puskesmas. Bahkan untuk obat generik seperti antibiotik dan antihipertensi, stoknya dilaporkan sering kosong selama berhari-hari. Situasi ini menimbulkan keresahan dan mempertanyakan efektivitas sistem distribusi obat di Indonesia.
Kekosongan Obat Terjadi di Banyak Wilayah
Laporan dari sejumlah daerah seperti Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, hingga NTT menunjukkan tren serupa: obat rutin sering tidak tersedia. Akibatnya, pasien diminta membeli obat sendiri di apotek luar—tentu dengan biaya tambahan yang tidak semua orang mampu tanggung.
“Kalau harus beli sendiri, lalu gunanya kami ke puskesmas apa?” ujar Siti, warga Klaten yang mengidap darah tinggi.
Distribusi Lambat, Pengadaan Tak Seragam
Kementerian Kesehatan mengakui adanya kendala dalam proses distribusi, terutama akibat sistem pengadaan yang masih terfragmentasi di tiap daerah. Perbedaan kecepatan dan kapasitas logistik membuat pengiriman obat tidak merata.
“Puskesmas sering kali tidak punya sistem prediksi kebutuhan obat yang andal. Ini membuat pengadaan jadi lambat dan tidak tepat jumlah,” jelas Dr. Nanda Puspita, pengamat kebijakan kesehatan.
Sistem e-Katalog Bantu, Tapi Belum Tuntas
Pengadaan obat melalui e-katalog nasional sebenarnya ditujukan untuk efisiensi dan keterbukaan. Namun, di lapangan, prosesnya masih rumit dan terkadang terlalu birokratis. Apalagi jika distributor terlambat mengirim, puskesmas tidak bisa cepat mencari alternatif.
“Yang dirancang seragam, tapi realisasinya tidak fleksibel. Padahal kesehatan butuh kecepatan,” tambah Dr. Nanda.
Pasien BPJS yang Paling Terdampak
Kekosongan obat paling dirasakan oleh pasien BPJS yang bergantung pada layanan dasar. Keluhan meningkat terutama untuk pasien penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, dan asma. Banyak dari mereka akhirnya putus obat karena tidak mampu membeli sendiri.
“Kalau tidak minum obat rutin, penyakit saya bisa kambuh. Tapi puskesmas cuma bilang ‘kosong, Bu’,” tutur Rukiah, lansia di Makassar.
Solusi: Reformasi Sistem Distribusi & Monitoring Digital
Pakar menilai perlu ada reformasi sistem distribusi obat berbasis data real-time. Pemerintah daerah juga diminta lebih aktif dalam mengawasi dan menjamin stok obat, terutama di wilayah terpencil.
“Dengan teknologi saat ini, tak seharusnya kita buta soal stok. Harusnya ada sistem dashboard yang memantau stok nasional secara terintegrasi,” tegas Dr. Nanda.
Obat Adalah Hak Dasar, Bukan Pilihan Kedua
Di tengah kampanye layanan kesehatan universal, ketersediaan obat yang stabil seharusnya menjadi prioritas. Pasien tidak boleh lagi menjadi korban dari ketidaktertiban sistem logistik.