Skandal Tersembunyi di Balik Jas Putih: Mengapa Perempuan Rentan Jadi Korban Kekerasan Seksual di Layanan Kesehatan Indonesia?
Tanggal: 17 Mei 2025 13:05 wib.
Fenomena kekerasan seksual terhadap perempuan di sektor layanan kesehatan di Indonesia kian menjadi perhatian. Dalam dua tahun terakhir, berbagai laporan kasus terus bermunculan, menyoroti realita pahit yang selama ini tersembunyi di balik institusi medis yang seharusnya menjadi tempat aman dan profesional.
Dalam wawancara eksklusif dengan CNBC Indonesia pada Jumat, 16 Mei 2025, Professor Sharyn Davies, Direktur Herb Feith Indonesia Engagement Centre di Monash University, memberikan pandangan mendalam mengenai penyebab utama terjadinya kekerasan ini, serta solusi yang bisa dilakukan dari sudut pandang akademik dan internasional.
“Saya sangat prihatin dengan ketimpangan kekuasaan dalam sistem layanan kesehatan, yang kerap merugikan perempuan,” ujar Profesor Sharyn. Menurutnya, banyak permasalahan dalam sistem kesehatan Indonesia yang dianggap “normal” sehingga tidak diusut tuntas bahkan cenderung diabaikan.
Ketimpangan Kekuasaan dan Budaya Diam yang Berbahaya
Salah satu akar permasalahan yang disorot Sharyn adalah struktur kekuasaan yang timpang antara pasien dan tenaga medis, terutama dalam konteks relasi antara pasien perempuan dan dokter laki-laki. Ketidakseimbangan ini membuat perempuan menjadi pihak yang paling rentan dalam lingkungan yang seharusnya memberi perlindungan dan perawatan.
“Dalam banyak kasus, pelaporan kekerasan seksual tidak terjadi bukan karena korban tidak ingin bicara, tetapi karena sistemnya sendiri tidak mendukung,” ungkap Sharyn. Ia menegaskan bahwa ketidakmampuan sistem untuk memberikan perlindungan hukum, mekanisme pengaduan yang aman, serta budaya hirarki yang menempatkan otoritas medis sebagai ‘tak tersentuh’ menjadi faktor besar dalam mengukuhkan kekerasan seksual sebagai kejahatan yang tersembunyi.
Di sisi lain, budaya masyarakat Indonesia juga menjadi bagian dari masalah. “Ada kecenderungan kuat untuk tidak menentang otoritas, apalagi dalam dunia medis. Ditambah lagi dengan stigma terhadap pelapor dan norma-norma sosial yang memprioritaskan ketaatan daripada hak pasien, hal ini memperparah situasi,” lanjutnya.
Langkah Reformasi: Tidak Cukup Hanya Menghukum Pelaku
Meskipun pemerintah telah mengambil langkah seperti memberikan sanksi larangan praktik seumur hidup terhadap pelaku kekerasan seksual, Profesor Sharyn menilai langkah itu belum menyentuh akar persoalan.
“Yang kita butuhkan bukan hanya hukuman individual, tetapi reformasi sistemik yang menyentuh seluruh rantai layanan kesehatan. Mulai dari kerangka hukum, sistem pelaporan, hingga pelatihan etika dan kesadaran gender bagi tenaga medis,” tegasnya.
Sharyn menyarankan agar mekanisme pengaduan yang aman dan rahasia wajib tersedia di setiap institusi kesehatan. Selain itu, pelatihan wajib mengenai etika profesional dan sensitivitas gender harus menjadi bagian dari program pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan di Indonesia.
Peran Universitas dan Studi Internasional: Solusi dari Dunia Akademik
Sebagai akademisi di salah satu universitas ternama di Australia, Sharyn percaya bahwa perguruan tinggi dapat berperan besar dalam menciptakan perubahan jangka panjang. Universitas seperti Monash University bisa berkontribusi dengan menyediakan riset berbasis bukti, memberi rekomendasi kebijakan pada pemerintah, dan mendidik calon tenaga medis yang memiliki kesadaran tinggi terhadap hak-hak pasien.
Negara-negara seperti Swedia dan Kanada disebutnya sebagai contoh yang bisa ditiru. Di Swedia, hak pasien dilindungi ketat melalui sistem persetujuan yang jelas dan layanan Ombudsman yang mudah diakses masyarakat. Di Kanada, pelatihan tentang kekerasan berbasis gender telah dimasukkan dalam kurikulum kedokteran sebagai bagian dari standar pendidikan nasional.
Media Juga Punya Tanggung Jawab Etis
Dalam wawancara tersebut, Profesor Sharyn juga menekankan pentingnya peran media massa dalam menangani isu kekerasan seksual dengan pendekatan yang beretika dan berpihak pada penyintas. Ia menyarankan agar setiap peliputan kasus kekerasan seksual dilakukan dengan perspektif yang menghormati korban, menghindari eksploitasi cerita untuk sensasi semata, dan menyoroti akar struktural masalah, bukan hanya permukaan kasusnya.
“Laporkanlah kasusnya, tetapi lakukan dengan pendekatan yang fokus pada penyintas. Jaga identitas mereka, hindari sensasionalisme, dan bahas juga konteks sistemik yang memungkinkan kekerasan itu terjadi,” ujarnya.
Saatnya Ubah Sistem, Bukan Sekadar Tanggulangi Gejala
Dari berbagai poin yang disampaikan, jelas bahwa kekerasan seksual di layanan kesehatan bukanlah isu individu, melainkan permasalahan sistemik yang melibatkan banyak lapisan: hukum, budaya, institusi, hingga pendidikan.
Jika Indonesia ingin menciptakan sistem kesehatan yang benar-benar aman dan berkeadilan bagi semua, terutama perempuan, maka perubahan menyeluruh harus dimulai sekarang juga. Tidak hanya dengan menghukum pelaku, tapi juga memperkuat sistem, melatih tenaga medis secara holistik, dan menciptakan ruang aman bagi korban untuk bersuara tanpa takut.