Revolusi Digital dalam Perawatan Jantung: AI dan Teknologi Mutakhir Jadi Solusi Atasi Keterbatasan Dokter di Indonesia
Tanggal: 1 Jun 2025 09:38 wib.
Tampang.com | Penyakit kardiovaskular, khususnya jantung, terus menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat Indonesia. Data BPJS Kesehatan per Mei 2024 mencatat, 1,89 juta orang terdiagnosis penyakit jantung, dan yang mengkhawatirkan, usia penderita semakin muda. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan, usia rata-rata diagnosis pertama penyakit jantung menurun dari 48,5 tahun (2013) menjadi 43,2 tahun (2023), bahkan 140.206 orang usia 25–34 tahun sudah terdiagnosis. Kondisi ini tidak hanya meningkatkan beban kesehatan, tetapi juga menyebabkan kerugian produktivitas ekonomi nasional yang mencapai triliunan rupiah.
Gaya Hidup Buruk, Keterlambatan Diagnosis, dan Kesenjangan Akses
Ketua Bidang Medis Yayasan Jantung Indonesia (YJI) dr. BRM Ario Soeryo Kuncoro, SpJP(K), FIHA, FAsCC, menjelaskan bahwa serangan jantung pada usia produktif bukan lagi hal langka. "Gaya hidup buruk, seperti merokok, makanan tinggi lemak, kurang gerak, adalah pemicunya. Hal yang lebih parah adalah banyak (pasien) yang terlambat (didiagnosis),” terang dr. Ario dalam diskusi publik "Transformasi Digital dalam Perawatan Kardiovaskular: Kemajuan, Tantangan, dan Langkah ke Depan" (28/5/2025).
Keterlambatan penanganan sebagian besar disebabkan oleh dua faktor utama: minimnya kesadaran akan deteksi dini dan keterbatasan fasilitas kesehatan berkualitas di luar kota-kota besar. Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) drg. Iing Ichsan Hanafi, MARS, MH, menegaskan bahwa Indonesia, dengan lebih dari 280 juta penduduk, hanya memiliki sekitar 1.500 dokter spesialis jantung. Ini berarti satu dokter harus melayani hampir 190.000 penduduk, dengan persebaran yang tidak merata.
Dari sekitar 3.150 rumah sakit di Indonesia, hanya sebagian kecil yang memiliki layanan jantung lengkap. "Dari sekitar 1.800 rumah sakit swasta, akses teknologi jantung masih sangat terbatas karena terbentur pembiayaan dan kurangnya sumber daya manusia (SDM) spesialis,” jelas drg. Iing. Mayoritas RS swasta dengan layanan terpadu kardiovaskular masih tersentralisasi di Jawa. Oleh karena itu, penguatan jejaring rujukan dan pembangunan sistem pelayanan jantung berbasis kompetensi sangat diperlukan.
AI dan Teknologi Digital: Harapan Baru Perawatan Jantung
Untuk menjawab tantangan kesenjangan ini, penggunaan teknologi berbasis artificial intelligence (AI) menjadi solusi menjanjikan. Teknologi ini mampu mempercepat diagnosis, meningkatkan efisiensi klinis, dan memperluas jangkauan layanan ke daerah-daerah yang kekurangan sumber daya.
Laporan Philips Future Health Index 2024 mengungkapkan bahwa 74 persen pemimpin layanan kesehatan di Indonesia berencana berinvestasi dalam teknologi generatif AI dalam tiga tahun ke depan, melampaui rata-rata global sebesar 56 persen. Royal Philips (Philips Indonesia) sendiri telah mengembangkan solusi kesehatan berbasis AI untuk mempercepat diagnosis, memantau pasien dari jarak jauh, dan menghubungkan rumah sakit di pusat dan daerah secara real-time.
Teknologi ini mencakup pencitraan medis seperti USG jantung, CT scan, dan MRI dengan fitur pengukuran otomatis serta visualisasi real-time. Ada pula sistem pemantauan jarak jauh untuk mendukung deteksi dini dan pengelolaan penyakit jantung secara proaktif dari rumah, mengurangi kebutuhan pasien bolak-balik ke rumah sakit.
“Kami percaya bahwa teknologi, khususnya AI, bisa mempercepat alur layanan, meringankan beban dokter, dan yang paling penting, memperluas jangkauan perawatan,” ujar Presiden Direktur Philips Indonesia Astri Ramayanti Dharmawan. Platform informatika terintegrasi yang menghubungkan data pencitraan dan data klinis lintas departemen memungkinkan tim multidisiplin (kateterisasi jantung, ekokardiografi, CT, MRI) mengakses satu tampilan terpadu pasien untuk melacak perkembangan penyakit dan mengambil keputusan lebih cepat.
Keunggulan teknologi berbasis AI ini diakui oleh dr. Ario. Menurutnya, teknologi yang tepat dapat membantu timnya bekerja lebih cepat dan efisien, menyederhanakan alur kerja, dan mempercepat proses diagnosis. Ia bahkan telah beberapa kali terlibat dalam operasi live demo yang dikendalikan lintas wilayah. "Dengan teknologi, kami bisa berdiskusi, melihat hasil scan, dan bahkan membimbing tindakan medis dari jarak jauh. Ini tidak mungkin terjadi 10 tahun lalu,” terangnya.
Visi "Better Care for More People" dan Kolaborasi Sektor
Astri menegaskan, komitmen Philips Indonesia dalam menghadirkan teknologi sejalan dengan visi global mereka: "Better Care for More People". Visi ini bukan hanya slogan, tetapi prinsip kerja dalam mendesain teknologi yang inklusif dan dapat diterapkan di semua level rumah sakit, bahkan di daerah terpencil.
Untuk mewujudkan visi ini, Philips Indonesia aktif bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, seperti RS Jantung Harapan Kita untuk edukasi kardiovaskular, serta berkolaborasi dengan rumah sakit swasta dan universitas untuk membangun kurikulum pelatihan medis yang relevan dengan era digital. Philips juga mendorong transformasi layanan kesehatan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, misalnya melalui inovasi MRI berbasis helium rendah.
Astri menutup dengan menekankan bahwa perjuangan Indonesia melawan penyakit jantung memerlukan lebih dari sekadar tenaga medis. Dengan keterbatasan jumlah dokter spesialis dan beban penyakit yang terus meningkat, solusi teknologi kesehatan yang mampu mempercepat diagnosis dan intervensi sangat dibutuhkan. “Kami berkomitmen untuk membangun sistem kesehatan yang lebih kuat dan tangguh. Hal ini sejalan dengan visi kami untuk memberikan perawatan yang lebih baik bagi lebih banyak orang,” pungkasnya