Pembalut, Tampon, dan Menstrual Cup Akan Kena PPN 12% Mulai 2025
Tanggal: 25 Des 2024 15:38 wib.
Tampang.com | Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan telah mengonfirmasi bahwa pembalut, tampon, serta menstrual cup bukan termasuk jenis objek pajak baru. Saat ini, barang-barang kebutuhan perempuan tersebut sudah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Menurut Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, berdasarkan Undang-Undang PPN Nomor 8 Tahun 1983, pads menstruasi dan tampon tidak tercakup dalam daftar barang yang terkecuali dari pengenaan PPN. Artinya, selama ini pads menstruasi telah dikenai PPN sebesar 11%.
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% akan berlaku bagi pembalut, tampon, dan menstrual cup. Hal ini mengindikasikan bahwa keperluan wanita tersebut akan mengalami kenaikan harga, yang tentunya akan memberikan dampak langsung pada kantong konsumen. Meski begitu, beberapa dari produk-produk tersebut masih diimpor dari luar negeri, sehingga hal ini juga akan berdampak pada keterjangkauan dan ketersediaannya di Indonesia.
Menariknya, kebijakan kenaikan PPN ini tidak hanya berlaku bagi produk-produk kebutuhan perempuan, tetapi juga pada seluruh barang dan jasa yang sebelumnya dikenai tarif 11%. Hanya ada beberapa jenis barang yang merupakan kebutuhan utama masyarakat yang terkecuali dari kenaikan tarif PPN, di antaranya minyak goreng curah "Kita", tepung terigu, dan gula industri, seperti yang diungkapkan oleh Dwi.
Berdasarkan kebijakan ini, masalah kenaikan PPN terhadap kebutuhan perempuan menjadi salah satu perhatian utama, mengingat bahwa kebutuhan ini bukanlah barang mewah, melainkan suatu kebutuhan dasar. Beberapa negara di dunia telah memberlakukan pembebasan pajak atau penerapan tarif pajak yang lebih rendah untuk barang-barang sanitasi menstruasi. Contohnya adalah Australia, Korea Selatan, Malaysia, dan India yang membebaskan pajak atas pembalut, tampon, dan menstrual cup.
Tidak hanya itu, Jerman dan Vietnam pun menerapkan pajak lebih rendah untuk produk-produk sanitasi menstruasi ini, yakni sekitar 5%. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya ketersediaan kebutuhan dasar perempuan menjadi fokus dalam kebijakan pajak di berbagai negara.
Melihat kebijakan PPN yang semakin memberatkan, diperlukan perhatian lebih dari pemerintah untuk memastikan ketersediaan dan keberlanjutan harga produk-produk kebutuhan dasar ini. Perempuan sebagai konsumen utama kebutuhan ini harus diperhatikan, sehingga kebijakan yang diambil tidak memberikan dampak negatif pada keberlangsungan hidup dan kesejahteraan perempuan Indonesia.
Kenaikan PPN yang terjadi pada tahun 2025 tentu akan membawa dampak yang signifikan bagi masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan yang memperhatikan aspek kesejahteraan masyarakat, terutama dalam hal kebutuhan dasar, sehingga kenaikan biaya hidup tidak memberatkan masyarakat, terutama kalangan yang kurang mampu.
Selain itu, perlunya kerja sama antara pemerintah, produsen, dan masyarakat dalam menemukan solusi yang dapat mengakomodasi kebutuhan perempuan dengan harga yang lebih terjangkau. Dengan demikian, diharapkan keberlangsungan kehidupan masyarakat, khususnya perempuan, dapat tetapterjaga.