Misteri Kanker Usus Buntu pada Anak Muda: Mengapa Generasi Z dan Milenial Kini Jadi Korban?
Tanggal: 28 Jun 2025 09:25 wib.
Kasus kanker kini tak lagi hanya identik dengan usia lanjut. Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi lonjakan signifikan kasus kanker di kalangan generasi muda—khususnya kanker usus buntu atau dikenal juga dengan kanker apendiks. Kondisi ini cukup mengejutkan karena sebelumnya, kanker ini tergolong langka dan umumnya ditemukan pada lansia. Namun, data terbaru memperlihatkan peningkatan tajam jumlah penderita di usia 30 hingga 40-an, yang memicu kekhawatiran banyak pihak, termasuk kalangan medis.
Sebuah penelitian terkini yang dipublikasikan dalam Annals of Internal Medicine mengungkapkan bahwa angka kejadian kanker usus buntu mengalami lonjakan drastis pada individu yang lahir setelah tahun 1970-an. Bahkan, bila dibandingkan dengan generasi yang lahir di tahun 1940-an, insidensinya naik hingga tiga hingga empat kali lipat. Walau total kasusnya masih tergolong kecil, laju peningkatan ini dinilai sangat signifikan.
Lebih mencengangkan lagi, sekitar sepertiga dari total kasus kini ditemukan pada orang dewasa berusia di bawah 50 tahun. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan jenis kanker gastrointestinal lainnya. Lantas, apa yang menyebabkan lonjakan ini terjadi begitu drastis di generasi muda?
Pola Hidup Modern Diduga Jadi Biang Keladi
Hingga kini, belum ada jawaban pasti yang menjelaskan mengapa kanker usus buntu makin menyerang anak muda. Namun, banyak pakar menduga bahwa gaya hidup modern berperan besar dalam lonjakan kasus ini.
Sejak era 1970-an, terjadi peningkatan tajam angka obesitas secara global. Kelebihan berat badan sendiri merupakan faktor risiko utama untuk berbagai jenis kanker, terutama yang menyerang sistem pencernaan. Ditambah lagi, pola makan generasi muda kini cenderung tinggi makanan olahan, konsumsi gula berlebihan melalui minuman manis, serta banyak mengonsumsi daging merah dan daging olahan. Semua jenis makanan ini diketahui memiliki keterkaitan dengan peningkatan risiko kanker saluran cerna.
Tak hanya itu, menurunnya tingkat aktivitas fisik juga menjadi perhatian. Banyak orang kini menghabiskan sebagian besar waktunya duduk, baik karena pekerjaan di depan komputer maupun aktivitas di media sosial atau hiburan digital. Kurangnya pergerakan fisik turut menjadi faktor yang melemahkan kesehatan sistem pencernaan dan metabolisme tubuh.
Paparan Lingkungan Modern yang Mencurigakan
Selain faktor gaya hidup, ada pula kemungkinan bahwa perubahan lingkungan turut berkontribusi terhadap tren ini. Proses industrialisasi produksi makanan yang masif, paparan plastik dan bahan kimia dari berbagai produk sehari-hari, serta penurunan kualitas air konsumsi mungkin memiliki dampak jangka panjang yang belum sepenuhnya dipahami. Generasi sebelumnya tidak terlalu terpapar unsur-unsur ini, yang bisa menjelaskan perbedaan tren kanker usus buntu antar generasi.
Gejala yang Sulit Dikenali
Salah satu tantangan terbesar dari kanker usus buntu adalah sulitnya mendeteksi penyakit ini di tahap awal. Berbeda dari kanker kolorektal yang bisa dilacak melalui prosedur kolonoskopi, kanker usus buntu tidak memiliki skrining standar yang bisa dilakukan secara rutin. Hal ini membuat sebagian besar kasus baru ditemukan secara tidak sengaja, biasanya setelah pasien menjalani operasi untuk dugaan radang usus buntu biasa.
Gejala kanker usus buntu sendiri cenderung samar dan mudah diabaikan. Misalnya, nyeri perut ringan, perut terasa kembung, atau perubahan pola buang air besar—semuanya merupakan keluhan yang umum terjadi dan tidak spesifik. Banyak orang yang tak menyadari bahwa gejala tersebut bisa menjadi sinyal awal dari kondisi serius.
Karena itulah, penting bagi siapa pun—terutama yang berusia di bawah 50 tahun—untuk tidak menganggap remeh gejala-gejala pencernaan yang berlangsung terus-menerus atau terasa tidak biasa. Meskipun tidak ada pemeriksaan rutin khusus, deteksi dini masih sangat mungkin dilakukan dengan kesadaran dan respons cepat terhadap perubahan tubuh.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Melihat tren yang mengkhawatirkan ini, ada baiknya masyarakat mulai lebih waspada terhadap pola hidup yang dijalani. Menjaga berat badan ideal, mengurangi konsumsi makanan olahan dan minuman bergula, memperbanyak aktivitas fisik, serta memperhatikan asupan serat dan makanan alami dapat menjadi langkah awal untuk menjaga kesehatan usus.
Selain itu, penting pula untuk mengenali sinyal tubuh dan segera berkonsultasi ke tenaga medis bila muncul keluhan perut yang tak kunjung membaik. Meskipun kanker usus buntu tergolong langka, peningkatan tren kasusnya menjadi alarm bahwa penyakit ini nyata dan perlu diwaspadai, bahkan di usia muda.