Sumber foto: iStock

Mengapa Kanker Serviks Masih Jadi Pembunuh Diam-Diam? Ini Fakta Mengejutkan soal Pencegahan yang Belum Banyak Diketahui!

Tanggal: 4 Mei 2025 08:55 wib.
Kanker serviks masih menjadi salah satu tantangan kesehatan paling serius bagi perempuan di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, lebih dari 36.000 kasus baru terdeteksi setiap tahunnya, menjadikannya penyebab kematian akibat kanker tertinggi kedua bagi wanita di tanah air. Lebih tragis lagi, sekitar 70 persen dari kasus ini baru ditemukan saat sudah memasuki stadium lanjut, ketika peluang sembuh jauh lebih kecil dan risiko kematian meningkat drastis.

Padahal, kanker serviks adalah satu dari sedikit jenis kanker yang dapat dicegah dan dideteksi lebih awal. Kuncinya terletak pada dua hal penting: vaksinasi HPV (Human Papillomavirus) dan deteksi dini melalui skrining. Sayangnya, pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pentingnya langkah preventif ini masih sangat rendah.

Dalam konferensi pers di Jakarta pada Kamis (24/4/2025), dr. Siti Nadia Tarmizi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PTM) Kemenkes RI, mengungkapkan bahwa kanker serviks merupakan kanker yang sangat bisa dicegah. Namun, berbagai tantangan di lapangan seperti stigma terhadap pemeriksaan kesehatan reproduksi dan minimnya edukasi menjadi penghalang utama.

Menurut dr. Nadia, cakupan skrining kanker serviks nasional saat ini baru menyentuh angka 9,3 persen dari target 30 persen. Selain itu, tantangan logistik, keterbatasan distribusi tenaga medis, serta kurangnya sistem pendataan yang baik di daerah-daerah terpencil turut memperparah kondisi ini. Akibatnya, banyak perempuan yang sebenarnya bisa diselamatkan menjadi terlambat tertangani.

Upaya pencegahan sebenarnya sudah semakin diperluas. Saat ini, vaksin HPV telah tersedia secara gratis di Puskesmas dan ditujukan bagi anak-anak perempuan sebelum usia 15 tahun. Vaksin ini terbukti sangat efektif dalam mencegah infeksi HPV yang merupakan penyebab utama kanker serviks. Bagi perempuan yang sudah melewati usia tersebut, deteksi dini menjadi pertahanan utama berikutnya.

Namun, untuk menjangkau masyarakat luas secara merata, dr. Nadia menekankan pentingnya inovasi dalam sistem pembiayaan dan metode skrining. "Kita harus berpikir kreatif, karena tidak semua masyarakat bisa langsung datang ke fasilitas kesehatan," ujarnya.

Dalam mendukung upaya tersebut, Kementerian Kesehatan juga menjalin kerja sama internasional. Salah satunya dengan organisasi Jhpiego (Johns Hopkins Program for International Education in Gynaecology and Obstetrics) yang mendapat dukungan dana dari Roche dan BioFarma. Kolaborasi ini tengah menguji dua model skrining di wilayah Jawa Timur, yaitu Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo.

Di Surabaya, diterapkan pendekatan “hub and spoke” dengan metode pengambilan sampel secara mandiri. Dalam skema ini, perempuan dapat mengambil sampel sendiri di rumah, lalu menyerahkannya ke Puskesmas atau Posyandu untuk dianalisis. Menurut Maryjane Lacoste, perwakilan Jhpiego, model ini memungkinkan akses yang lebih luas dan mengurangi ketergantungan pada tenaga medis.

Sebaliknya, di Sidoarjo digunakan pendekatan tradisional, di mana skrining dilakukan langsung oleh petugas medis di fasilitas kesehatan. Kedua model ini kini tengah dievaluasi efektivitasnya, baik dari sisi jangkauan maupun efisiensi operasional.

Meski terdengar menjanjikan, pendekatan pengambilan sampel mandiri tetap menyimpan tantangan tersendiri. Prof. Dr. dr. Aryati, M.S., Sp.PK(K), pakar dari PDS Patklin, mengingatkan bahwa akurasi sangat bergantung pada edukasi pengguna. Ia menyebut potensi kesalahan prosedur bisa mencapai 70 persen jika pengambilan sampel tidak dilakukan dengan benar.

Ia menekankan pentingnya edukasi sebelum tes, seperti larangan berhubungan seksual atau penggunaan obat tertentu setidaknya 4 jam sebelum pengambilan sampel. "Kalau prosedurnya tidak diikuti dengan benar, hasil tes bisa tidak akurat dan malah menyesatkan diagnosis," jelasnya.

Tak hanya itu, Aryati juga menyoroti pentingnya rantai dingin dan proses pengiriman sampel yang sesuai standar. Beberapa media transportasi memang mampu menyimpan spesimen hingga tiga bulan pada suhu 15 derajat Celcius, namun jika tidak dikelola dengan tepat, kualitas sampel bisa rusak dan membuat hasil tes tidak valid.

Hal penting lainnya adalah bahwa perang melawan kanker serviks tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah. Ketiga narasumber sepakat bahwa kolaborasi lintas sektor — termasuk swasta, akademisi, dan masyarakat — sangat diperlukan. Tidak cukup hanya dengan kampanye sesekali; dibutuhkan sistem terintegrasi yang berkelanjutan dan menjangkau semua perempuan di berbagai wilayah Indonesia.

Maryjane menambahkan bahwa perubahan tidak akan datang dengan sendirinya. "Ini bukan soal satu program atau satu vaksin. Kita butuh ekosistem pencegahan yang bisa berjalan secara terus-menerus, dari edukasi, skrining, hingga pengobatan," ujarnya.

Melihat potensi keberhasilan jika program ini dijalankan secara maksimal, Indonesia sebenarnya memiliki peluang besar untuk menekan angka kematian akibat kanker serviks secara signifikan. Namun, untuk mewujudkannya, dibutuhkan kerja sama semua pihak dan peningkatan literasi kesehatan yang menyeluruh di masyarakat.

Dengan vaksinasi yang mudah diakses dan inovasi deteksi dini yang terus berkembang, sebenarnya kita sudah memiliki alat yang ampuh untuk mengakhiri ancaman kanker serviks. Tinggal bagaimana kemauan kolektif dan sistem yang terstruktur bisa memastikan bahwa tidak ada perempuan Indonesia yang terlewat dari perlindungan ini.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved