Sumber foto: Google

Masalah Gizi Buruk dan Wabah Campak di Pedalaman Asmat, Papua Selatan

Tanggal: 6 Agu 2024 09:02 wib.
Tujuh tahun lalu, sedikitnya 75 orang – utamanya anak-anak – meninggal dunia di sana. Kasus ini menyedot keprihatinan dan kemarahan yang meluas. Publik nasional dan internasional dipaksa memelototkan matanya ke wilayah selatan Papua yang berbatasan dengan Laut Arafuru, utamanya di pedalaman yang sebagian terisolasi. Pemerintah Indonesia bahkan menetapkannya sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Foto-foto menyedihkan bocah dengan tulang menonjol dengan tatapan mata menahan perih yang dimuat harian nasional Kompas pada hari-hari itu, menjadi kekuatan yang mampu menggerakkan banyak orang untuk terlibat. Lalu, setelah tragedi itu terungkap ke permukaan, berduyun-duyun langkah mitigasi dilakukan. Memang sudah ada komitmen dan semacam upaya untuk melakukan perubahan seperti yang dijanjikan setelah krisis kesehatan di Asmat itu.

Kucuran Dana Otonomi Khusus Papua yang mengalir sampai ke kampung-kampung adalah buktinya, Belum lagi berbagai kebijakan di atas kertas yang mengutamakan kepada kebutuhan dan cara pandang Orang Asli Papua (OAP). Kemudian muncul harapan bahwa masalah-masalah seputar kesehatan ibu dan anak di wilayah itu dapat diatasi. Tetapi enam atau tujuh tahun kemudian temuan masih ada sejumlah persoalan belum teratasi, Salah satunya, kami masih menemukan kasus-kasus gizi buruk di sebagian pedalaman Kabupaten Asmat. Tidak sampai di situ. Sejumlah persoalan yang dulu dianggap sebagai faktor penyebab meledaknya kasus gizi buruk dan wabah campak masih kami jumpai.

kesaksian seorang uskup dan cerita pilu seorang ibu yang kehilangan dua anaknya dalam krisis kesehatan tujuh tahun lalu, Kami juga menyoroti harapan warga di kawasan terisolasi yang kesulitan mengakses layanan kesehatan, kami beberkan bahwa wilayah Asmat masih menghadapi masalah stunting atau tengkes, dua tahun lalu data Kementerian Kesehatan menyebut prevalensi balita stunting di Asmat tertinggi di tanah Papua.

setelah diberitakan secara meluas, lalu melahirkan keprihatinan dan kemarahan, Jakarta kemudian menaruh perhatian besar yang ditandai penerapan status Kejadian Luar Biasa (KLB) di Asmat. Seluruh pihak terkait kemudian energinya seperti tersedot ke Asmat, utamanya di kawasan-kawasan pedalaman yang ditemukan wabah tersebut.  Lalu, seiring berbagai upaya digelar guna menanganinya, muncul berbagai pertanyaan kunci tentang faktor utama penyebab meledaknya wabah campak dan gizi buruk di wilayah itu.

Jawaban atas pertanyaan itu agaknya tergantung kepada siapa yang mengutarakannya.

Di mata pemerintah, utamanya Kementerian Kesehatan, telunjuk mereka mengarah kepada apa yang disebut sebagai “pola pikir dan budaya” masyarakat di pedalaman Asmat, selain faktor lainnya seperti pelayanan kesehatan dan sarana pendukungnya.

“Persoalannya itu klasik, dari dulu seperti itu,” kata Steven Langi, Kepala Bagian Kemasyarakatan Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat, kepada kami di Kota Agats, akhir Oktober 2023 lalu. 

Di sini, Steven merujuk kepada apa yang disebutnya sebagai pola pikir dan kebudayaan warga di pedalaman Asmat terkait apa yang disebutnya sebagai kesadaran tentang pentingnya aspek kesehatan ibu dan anak.

Dia memberikan contoh, seperti yang terjadi pada 2017 dan 2018 lalu, wabah campak dan gizi buruk bisa terjadi, lantaran orang tua membawa anak-anaknya untuk pangkur sagu atau berburu di hutan.Ketika anaknya sakit di hutan yang jaraknya jauh, mereka kesulitan untuk mendapatkan akses kesehatan, katanya.

Steven juga mengaku seringkali menemukan kasus saat program imunisasi digelar oleh puskesmas pembantu, misalnya, si anak tak pernah nongol untuk mendapatkan vaksin karena ikut keluarganya ke hutan.

“Pasti akan muncul ketika keluarga itu ke hutan, kemudian anaknya dibawa serta,” ujarnya.

Apa yang diutarakan Steven Langi tak jauh berbeda dengan temuan Kementerian Kesehatan yang diumumkan ke publik pada 18 Mei 2018 terkait latar belakang wabah campak dan gizi buruk di Asmat.bAda beberapa faktor yang disebut sebagai sebabnya, tetapi 40% adalah faktor lingkungan dan 30% faktor perilaku sosial budaya. 

Sisanya, menurut Kemenkes, faktor pelayanan Kesehatan 20% dan genetika 10%. Mereka lantas menyontohkan wabah campak di Asmat itu lantaran cakupan imunisasi lengkap sulit dilakukan,Alasannya, anak-anak yang berusia enam bulan sudah dibawa ke hutan oleh orang tuanya.

“Sehingga sulit dijangkau petugas kesehatan,” demikian presentasi Kemenkes saat itu. Adapun kasus gizi buruk, menurut Kemenkes, dilatari pola hidup bersih dan sehat masyarakat Asmat yang disebut tergolong rendah.

Pemerintah Kabupaten Asmat dan pemerintah pusat di Jakarta bukannya tidak menyadari masalah geografi Asmat yang sulit ini, walaupun kemudian disadari pula bahwa itu membutuhkan anggaran yang tak sedikit. Tetapi alasan yang terakhir ini sepertinya tidak lagi relevan setelah wabah campak dan gizi buruk 2018 di wilayah itu membuat elite di Papua dan Jakarta dipaksa untuk mencari jalan keluarnya.

Dan saya teringat pernyataan seorang pejabat pemerintah pusat ketika wilayah di selatan Papua itu menjadi sorotan setelah wabah campak dan gizi buruk 2017-2018.

Alangkah idealnya jika ada puskesmas keliling yang dapat menjangkau kampung-kampung yang sulit, kata sang pejabat.Sebelum berangkat ke Asmat, saya sudah mendapatkan informasi bahwa pemerintah setempat mengeklaim sudah rutin menggelar puskesmas keliling ke kampung-kampung.

Tugasnya, melayani imunisasi hingga pemeriksaan dan pengobatan gratis.

“Petugas puskesmas kita rutin melaksanakan pusling,” kata Bupati Asmat, Elisa Kambu, awal pekan kedua Juli 2024. Program ini diklaim digelar dua bulan sekali.

Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 oleh Kementerian Kesehatan menyebutkan angka prevalensi balita stunting di Kabupaten Asmat mencapai 54,5%.

Angka tersebut melonjak 16,4 poin persentase dari tahun sebelumnya yang sebesar 38,1%.

Di urutan berikutnya ada Kabupaten Yahukimo dengan prevalensi balita stunting 53,3%, diikuti Kabupaten Nduga di peringkat ketiga sebesar 50,2%.

Adapun Kabupaten Deiyai memiliki prevalensi balita stunting terendah di Papua, yakni 13,4% diikuti Kabupaten Nabire dengan 17,1%. 

Dari hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2024, 38 provinsi di Indonesia, sebanyak 15 provinsi memiliki prevalensi stunting di bawah angka nasional, tiga provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi adalah Papua Tengah (39,4%), Nusa Tenggara Timur (37,9%) dan Papua Pegunungan (37,3%). Saat ini, menurut Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Ascobat Gani, tren tengkes di Indonesia memang mengalami penurunan, tetapi terjadi kesenjangan. 

“Masih banyak daerah yang stuntingnya tinggi, seperti NTT dan Papua,” kata Ascobat, awal Februari 2024.

Dia menilai program penurunan tengkes sudah banyak, tetapi yang diabaikan adalah penguatan sistem.

“Bagaimana masalah stunting yang sudah masuk RPJMN [Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional] ini bisa diterjemahkan sampai RPJM desa,” ujarnya, Supaya dari hulu sampai hilir ada komitmen. 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved