Label Gula, Garam, Lemak Mulai Berlaku, Apakah Bisa Ubah Pola Makan Masyarakat?
Tanggal: 15 Mei 2025 08:08 wib.
Tampang.com | Pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) resmi memberlakukan kebijakan pelabelan kandungan Gula, Garam, dan Lemak (GGL) pada kemasan makanan dan minuman olahan mulai awal tahun ini. Tujuannya jelas: menekan angka konsumsi berlebih yang selama ini menjadi penyebab utama penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, dan obesitas.
Angka Penyakit Tidak Menular Terus Meningkat
Data Riskesdas 2023 mencatat bahwa lebih dari 34% penduduk dewasa Indonesia mengalami hipertensi, sementara prevalensi diabetes meningkat jadi 11%. Konsumsi makanan tinggi gula dan garam menjadi salah satu penyebab utama.
“Kita makan terlalu manis dan asin, seringkali tanpa sadar. Label ini bisa jadi peringatan awal yang penting,” kata Dr. Linda Maharani, ahli gizi dari Universitas Indonesia.
Kesadaran Gizi Masyarakat Masih Rendah
Kendati label GGL sudah diterapkan, efektivitasnya bergantung pada tingkat literasi gizi masyarakat. Sayangnya, survei menunjukkan bahwa hanya 1 dari 4 konsumen yang membaca label kandungan sebelum membeli produk.
“Kalau masyarakat tidak paham arti angka-angka di label, maka pesan gizinya tak tersampaikan,” jelas Dr. Linda.
Tantangan: Edukasi dan Penegakan Regulasi
Pelabelan tanpa edukasi hanyalah formalitas. Pemerintah perlu menggencarkan kampanye gizi, khususnya melalui media sosial dan sekolah. Di sisi lain, pengawasan terhadap produsen yang belum patuh terhadap aturan pelabelan juga harus ditingkatkan.
Solusi: Label Harus Disertai Warna dan Simbol
Pakar menyarankan agar label GGL dibuat lebih mudah dipahami, misalnya dengan sistem warna seperti lampu lalu lintas: merah (tinggi), kuning (sedang), hijau (aman). Simbol visual diyakini bisa lebih efektif daripada angka teknis semata.
“Label bukan hanya informasi, tapi alat pengubah perilaku. Harus dibuat sejelas mungkin,” tegas Dr. Linda.