Konsumsi Gula Berlebihan, Pasien Cuci Darah Menyesal Setiap Hari Minum Kopi dan Teh Kemasan
Tanggal: 4 Agu 2024 16:33 wib.
Keputusan pemerintah mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) yang berlebihan pada pangan olahan diharapkan sejumlah kalangan tidak sebatas ‘seremonial‘ semata tapi juga harus disandingkan dengan pelaksanaan optimal, sosialisasi masif, dan penegakan hukum bagi produsen yang melanggar.
Pengendalian GGL tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 melalui penentuan batas maksimal kandungan, penerapan cukai, pelabelan hingga pembatasan iklan.
“Semoga peraturan ini bukan bentuk seremonial saja, tetapi kebijakan ini dapat diterapkan dan berjalan baik di masyarakat,“ kata Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Samosir.
Selain pelaksanaan, Muhamad Riski Fahrezi selaku mantan pasien gagal ginjal berharap agar sosialisasi tentang bahaya buruk konsumsi pangan kemasan tinggi GGL juga harus masif dilakukan.
“Sosialisasinya seperti di sekolah, di lingkungan rumah, hingga televisi dan sosial media, karena saat saya sebelum kena gagal ginjal, tidak tahu dampaknya separah ini, “ kata Riski
Pakar kesehatan, Hasbullah Thabrany, menambahkan, penentuan cukai yang optimal juga menjadi kunci penting untuk menurunkan tingkat konsumsi GGL.
“Saya tahu pasti resistensi [dari pengusaha] akan banyak, tapi kalau kenaikan harganya tidak optimal maka tidak akan ada efeknya,“ kata Hasbullah.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan penerapan kebijakan GGL itu bertujuan untuk memperbaiki perilaku konsumsi masyarakat, kesehatan masyarakat, dan mendorong reformulasi produk industri yang lebih sehat.
Muhamad Riski Fahrezi divonis gagal ginjal saat usianya masih 18 tahun. Pada saat teman-temannya menikmati masa kelulusan dari SMA, dia terkapar di rumah sakit.
“Seminggu sebelum lulus-lulusan, tepatnya 7 Agustus 2020, saya pusing, mual, muntah, pandangan kabur dan dibawa ke IGD. Dicek kreatin saya tujuh, ureumnya 100 lebih, tensi [darah] sekitar 250 per 150,“ kenang Riski saat dihubungi wartawan BBC News Indonesia, Rabu (31/07).
Riski pun didiagnosis menderita gagal ginjal dan ia mendapatkan tindakan cuci darah (hemodialisis), sepekan kemudian.
Setelah tiga tahun menjalani cuci darah sebanyak dua kali sepekan, Riski mendapatkan transplantasi ginjal dari keluarga pada Januari 2023.
Riski menuturkan penyesalannya atas pola hidup yang buruk.
Pada saat SMP, dia mengalami obesitas (berat 90 kilogram dan tinggi sekitar 155 sentimeter).
“Lalu, di SMP saya juga sering minum kopi dan teh kemasan beli di minimarket. Hampir setiap hari beli itu,” kenangnya.
Sebagai gambaran, satu botol teh kemasan yang populer di Indonesia dengan takaran saji 350ml memiliki kandungan gula sebanyak 26 gram.
Ada pula minuman teh kemasan dengan takaran saji 350ml mengandung 42 gram gula.
Padahal, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyarankan batas konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) per orang per hari sebagai berikut: gula 50 gram atau empat sendok makan , 2.000 miligram natrium/ atau lima gram atau satu sendok teh garam (natrium/sodium) dan lemak 67 gram atau lima sendok makan.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, dokter Brian Sri Prahastuti, menjelaskan beragam penyakit tidak menular seperti kanker, stroke, dan gagal ginjal berkaitan erat dengan hipertensi dan diabetes melitus, yang salah satunya diakibatkan konsumsi GGL berlebih.
“Dengan demikian, ada urgensi untuk mengendalikan konsumsi gula, garam dan lemak melalui aturan makanan olahan berkemasan, selain edukasi kepada masyarakat tentang pola makan dan olahraga,“ kata Brian.
Terkait dengan penerapan cukai, Brian mengatakan PP itu memang belum secara spesifik mengatur ambang batas yang diperbolehkan dan besarannya.
Dilansir dari situs Kemenkes, beberapa penelitian mengungkapkan Indonesia menempati posisi ketiga di Asia Tenggara dengan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), sebesar 20,23 liter per orang.
Bahkan disebutkan bahwa konsumsi MDBK itu mengalami peningkatan 15 kali lipat dalam 20 tahun terakhir, dari 51 juta liter pada 1996 menjadi 780 juta liter pada 2014.
Dampaknya, kelebihan konsumsi minuman berpemanis satu porsi per hari akan meningkatkan risiko terkena diabetes melitus tipe 2 sebesar 18%, stroke 13%, dan serangan jantung (infark miokard) 22%.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 dan 2018 menunjukkan peningkatan obesitas penduduk usia 18 tahun ke atas, yakni dari 15,4% menjadi 21,8%. Kemudian untuk usia 5-19 tahun meningkat dari 2.8% pada 2006 menjadi 6.1% pada 2016, sedangkan kategori remaja usia 13-17 tahun sebanyak 14.8% mengalami berat badan berlebih dan 4.6% mengalami obesitas. Obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit tidak menular (PTM), di mana PTM merupakan penyebab dari 80% kasus kematian di Indonesia.
Memasuki SMA, Riski mengaku gaya hidupnya semakin tidak sehat. Dari Senin hingga Jumat, dia kerap begadang untuk bermain gim online.
“Kalau akhir pekan, bisa pagi ketemu pagi lagi. Dan tiap begadang aku minum minuman berenergi saset itu, tambah kopi saset,“ tambah Riski.
Dia mengatakan saat itu tidak mengetahui dampak buruk yang akan dihadapi saat mengkonsumsi minuman yang tinggi gula dan juga zat lain yang berbahaya bagi ginjal.
“Baru-baru ini saja ramai berita dan di sosial media tentang dampak buruk minuman kemasan. Waktu 2015-2016 tidak ada itu, mau dapat info dari mana saya tentang bahayanya? Tidak ada,“ ujar Riski.
Riski pun menyambut baik upaya pemerintah dalam mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) berlebihan dalam produk kemasan.
Berkaca dari pengalaman hidupnya, Riski berharap agar pelaksanan aturan itu harus diikuti dengan sosialisasi yang masif tentang dampak buruk dari konsumsi berlebih produk kemasan yang tinggi GGL.
“Sosialisasinya seperti di sekolah, di lingkungan rumah, hingga televisi dan sosial media, karena saat saya sebelum kena gagal ginjal, tidak tahu dampaknya separah ini, “ katanya.
“Kalau tidak segera dilakukan, kasihan nanti banyak yang seperti saya. Sekarang saja setiap hari, bulan, dan tahun ada orang-orang yang tidak tahu dampaknya [GGL] kena gagal ginjal,“ ujarnya.
Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir menyambut baik langkah pemerintah mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) berlebihan pada pangan olahan.
Tony berharap agar aturan itu dilaksanakan secara optimal.
“Semoga peraturan ini bukan bentuk seremonial saja. Ya, tetapi bagaimana implementasi kebijakan ini dapat diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Kan pemerintah perlu mengawasi dan menerapkan dengan konsisten agar kebijakan berjalan di lapangan,“ katanya.
Bahkan, tambah Tony, pemerintah harus mengambil tindakan tegas kepada produsen produk kemasan yang melanggar aturan dengan memberikan komposisi GGL melebih batas.
Menurut data yang dihimpun KPCDI, kata Tony, sekitar 70% pasien cuci darah di Indonesia dipicu oleh penyakit diabetes, hipertensi dan obesitas.
Ragam penyakit itu, ujar Tony, salah satunya dipengaruhi oleh konsumsi produk kemasan GGL secara berlebihan.
Pakar kesehatan masyarakat, Hasbullah Thabrany, menambahkan salah satu upaya penting lainnya menekan konsumsi GGL di masyarakat adalah dengan menerapkan cukai yang optimal pada produk kemasan.
Tujuannya, katanya, untuk menekan kemampuan masyarakat membeli pangan kemasan yang tinggi GGL. “Kalau terlalu rendah [cukai], enggak ada efeknya untuk menurunkan konsumsi,” katanya.
Hasbullah mencontohkan, masyarakat masih bisa membeli produk kemasan tinggi GGL jika kenaikannya hanya 20%.
“Dari Rp1.000 jadi Rp1.200, itu tidak akan berefek karena harganya masih murah dan terjangkau. Jadi harus di titik optimum. Instrumen harga sangat menentukan dalam pengendalian konsumsi, selain eksekusinya yang harus konsisten,“ ujarnya.
Senada, Wakil Ketua dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, meminta dilakukannya pengawasan sebelum dan sesudah pemasaran produk makanan, termasuk juga pemberian cukai.
Tujuannya, tambah Jasra, untuk melindungi hak kesehatan dan tumbuh kembang anak, yang rawan terpapar produk tinggi GGL.
“Jika terjadi di luar itu, ada sanksi administrasi dan bisa juga ke pidana, karena tidak bersesuaian antara kandungan setelah dilakukan cek lab,“ kata Jasra.