Kesehatan Mental Warga Kota Makin Terganggu, Apakah Urbanisasi Membuat Kita Sakit?
Tanggal: 9 Mei 2025 06:32 wib.
Tampang.com | Hidup di kota sering dianggap sebagai simbol kemajuan, namun di balik kilau gedung pencakar langit dan aktivitas yang padat, muncul masalah yang kian mengkhawatirkan: gangguan kesehatan mental. Mulai dari stres berkepanjangan, kecemasan, hingga depresi, kini menjadi gejala umum yang dialami warga urban.
Lonjakan Kasus Gangguan Mental di Wilayah Perkotaan
Data Kementerian Kesehatan tahun 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 34% penduduk perkotaan mengalami gejala stres atau gangguan mental ringan hingga sedang. Angka ini melonjak dibandingkan satu dekade lalu, yang hanya sekitar 18%.
“Urbanisasi membawa tekanan besar—dari biaya hidup, pekerjaan kompetitif, hingga kehilangan koneksi sosial. Itu semua menjadi pemicu stres kronis,” ujar Intan Sari, M.Psi, seorang psikolog klinis di Jakarta.
Ritme Cepat, Ruang Terbatas untuk Ketenangan
Gaya hidup di kota besar sering menuntut semua serba cepat. Waktu tidur berkurang, aktivitas fisik minim, dan ruang hijau terbatas. Situasi ini mengikis kualitas hidup dan memperburuk kesehatan mental masyarakat.
“Setiap hari terjebak macet, kerja sampai malam, lalu pulang ke apartemen sempit. Itu pola hidup yang pelan-pelan mematikan kesehatan mental,” tambah Intan.
Tabu Berbicara Masalah Mental Masih Ada
Meski kesadaran mulai meningkat, stigma terhadap masalah kesehatan jiwa masih membelenggu. Banyak yang enggan mencari bantuan profesional karena takut dianggap lemah atau ‘tidak normal’.
“Orang lebih mudah bilang sakit flu daripada mengaku merasa depresi. Padahal keduanya sama pentingnya untuk ditangani,” jelas Intan.
Urbanisasi Tidak Dapat Dihindari, Tapi Bisa Dikelola
Pemerintah daerah mulai meluncurkan program ruang terbuka hijau dan layanan konseling gratis, namun implementasinya masih terbatas. Di sisi lain, perusahaan swasta juga mulai menyediakan layanan mental health untuk karyawan mereka.
“Kota tidak harus membuat kita sakit. Dengan perencanaan urban yang ramah manusia dan layanan kesehatan jiwa yang terjangkau, kita bisa membalik arah ini,” kata Intan.
Membangun Kota yang Sehat Secara Mental
Para ahli menekankan pentingnya perencanaan kota yang memperhatikan keseimbangan antara pembangunan fisik dan kebutuhan psikologis. Lingkungan kerja, transportasi, dan ruang publik harus dirancang untuk mendukung well-being, bukan sekadar produktivitas.
“Jika kita ingin masyarakat kota tetap sehat, maka kota juga harus ‘waras’. Itu tugas kita bersama—pemerintah, swasta, dan warga,” tutup Intan.