Kesehatan Mental Masyarakat Memburuk, Apakah Layanan Kita Sudah Siap?
Tanggal: 9 Mei 2025 20:55 wib.
Tampang.com | Pandemi COVID-19 membawa dampak jangka panjang tidak hanya pada fisik, tetapi juga kondisi mental masyarakat Indonesia. Setelah lebih dari dua tahun tekanan sosial, isolasi, dan ketidakpastian ekonomi, kini lonjakan gangguan kesehatan mental menjadi perhatian serius. Namun pertanyaannya, apakah sistem layanan kesehatan mental di Indonesia sudah siap menjawab kebutuhan tersebut?
Angka Gangguan Mental Meningkat Tajam
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan peningkatan lebih dari 30% kasus gangguan jiwa ringan hingga berat sejak tahun 2020. Keluhan paling umum adalah kecemasan, depresi, dan gangguan tidur. Namun, angka ini diyakini masih jauh di bawah kenyataan karena stigma yang membuat masyarakat enggan mencari bantuan.
“Banyak orang mengalami gejala gangguan mental, tapi tidak pernah memeriksakan diri karena takut dianggap lemah atau ‘gila’. Ini jadi hambatan besar dalam penanganan,” kata dr. Hesti, psikolog klinis di Jakarta.
Layanan Kesehatan Mental Masih Terbatas
Sayangnya, akses terhadap layanan kesehatan mental di Indonesia masih sangat terbatas. Rasio psikolog dan psikiater terhadap jumlah penduduk sangat kecil. Banyak daerah, terutama di luar Pulau Jawa, tidak memiliki fasilitas atau tenaga ahli memadai.
“Di beberapa kabupaten, bahkan tidak ada satu pun psikolog profesional yang bertugas. Ini memperparah kesenjangan akses antara kota dan desa,” tambah dr. Hesti.
Stigma dan Kurangnya Literasi Kesehatan Mental
Selain keterbatasan infrastruktur, masalah utama lain adalah rendahnya literasi kesehatan mental. Banyak orang masih menganggap masalah kejiwaan sebagai hal yang tabu, memalukan, bahkan dianggap sebagai gangguan spiritual.
“Pendidikan kesehatan mental belum menyentuh akar masyarakat. Anak sekolah diajarkan menjaga tubuh, tapi tidak diajarkan bagaimana mengenali emosi dan stres,” jelas Rika, aktivis kesehatan mental dari komunitas Pulih.id.
Upaya Pemerintah Masih Parsial
Pemerintah memang telah menginisiasi program seperti layanan konsultasi daring melalui Sejiwa dan penyediaan layanan psikolog di puskesmas. Namun pelaksanaannya belum merata dan masih belum menjadi prioritas utama dalam sistem kesehatan nasional.
“Kita perlu pendekatan yang lebih sistematis, bukan sekadar program musiman. Kesehatan mental harus diintegrasikan ke dalam layanan primer, sama pentingnya dengan kesehatan fisik,” tegas Rika.
Solusi: Edukasi, Akses, dan Normalisasi
Para ahli sepakat bahwa solusi untuk krisis ini harus melibatkan tiga pilar: edukasi masyarakat agar paham pentingnya kesehatan mental, peningkatan akses layanan profesional, serta normalisasi bantuan psikologis sebagai hal yang wajar.
“Selama kesehatan mental dianggap tabu, orang akan terus menderita dalam diam. Kita perlu menjadikan konsultasi psikologis sebagai budaya, bukan alternatif terakhir,” tutup dr. Hesti.
Kesehatan mental adalah pondasi kesejahteraan hidup. Tanpa dukungan sistemik yang kuat dan budaya masyarakat yang inklusif, Indonesia berisiko menghadapi krisis psikologis yang lebih luas di masa depan. Saatnya kesehatan mental diberi ruang yang setara dengan kesehatan fisik.