Kesehatan Mental Masyarakat Makin Rentan, Apakah Tekanan Sosial Jadi Pemicunya?
Tanggal: 11 Mei 2025 07:58 wib.
Tampang.com | Kesehatan mental kini menjadi perhatian serius di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, angka kasus depresi, kecemasan, bahkan bunuh diri mengalami peningkatan. Di balik statistik yang mengejutkan ini, tekanan sosial, ekonomi, dan budaya menjadi faktor yang paling banyak disebut sebagai pemicu utama. Pertanyaannya: sejauh mana sistem sosial kita turut menyumbang pada krisis ini?
Fakta Baru, Kesehatan Mental Bukan Lagi Isu Individual
Stigma terhadap gangguan mental perlahan mulai memudar, namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa dukungan terhadap kesehatan jiwa masih minim. Kesehatan mental masih sering dianggap urusan pribadi, padahal banyak penyebabnya datang dari luar individu: tekanan kerja, masalah keluarga, diskriminasi, hingga beban ekonomi yang terus meningkat.
“Lingkungan sosial kita sangat menuntut, tapi tidak menyediakan ruang aman untuk kesehatan mental. Ini membuat banyak orang merasa tertekan tapi tak punya tempat bercerita,” ujar Ika Restiani, psikolog klinis dari Yogyakarta.
Tekanan Sosial dan Ekonomi Jadi Akar Permasalahan
Banyak masyarakat Indonesia hidup dalam tekanan sosial yang tinggi. Standar pencapaian hidup yang dipaksakan oleh lingkungan dan media sosial membuat banyak orang merasa tertinggal. Ditambah dengan masalah ekonomi pasca-pandemi, masyarakat menanggung beban finansial dan emosional secara bersamaan.
“Orang tidak hanya diminta sukses secara ekonomi, tapi juga harus tampil sempurna di mata publik. Itu tekanan yang luar biasa, dan banyak yang tidak kuat menghadapinya,” tambah Ika.
Tekanan semacam ini kerap tidak disadari karena sudah menjadi norma. Padahal, inilah yang membuat banyak orang mengalami gejala gangguan mental seperti stres kronis, kecemasan, hingga depresi berat.
Layanan Kesehatan Jiwa Masih Minim dan Mahal
Akses terhadap layanan kesehatan mental di Indonesia masih sangat terbatas. Di banyak daerah, jumlah psikolog dan psikiater tidak sebanding dengan kebutuhan. Sementara itu, biaya konsultasi masih dianggap mahal oleh masyarakat menengah ke bawah.
“Di puskesmas sekalipun, layanan psikologis belum merata. Akibatnya, banyak orang yang memilih diam atau hanya curhat di media sosial, tanpa solusi nyata,” kata Ika.
Situasi ini diperburuk oleh kurangnya dukungan dari pemerintah dan perusahaan dalam menyediakan fasilitas konseling atau hari kesehatan mental. Kesehatan jiwa belum dianggap urgensi nasional seperti halnya kesehatan fisik.
Solusi: Normalisasi Konseling dan Edukasi Sejak Dini
Para ahli menyarankan agar konseling psikologis dinormalisasi dan dimasukkan dalam layanan kesehatan dasar. Selain itu, pendidikan mental health harus mulai diajarkan sejak usia sekolah untuk membangun kesadaran dan empati sejak dini.
“Jika kita ingin menurunkan angka depresi dan bunuh diri, kita harus mulai dari edukasi. Ajari anak-anak mengenali emosi, mengelola stres, dan mencari bantuan ketika butuh,” ujar Ika.
Program corporate wellness di tempat kerja juga harus lebih serius dijalankan. Perusahaan bisa menyediakan sesi konseling berkala dan memperhatikan keseimbangan kerja-kehidupan karyawan, bukan hanya target keuntungan.
Masyarakat Perlu Belajar Saling Dukung
Menghadapi krisis kesehatan mental tidak bisa dilakukan oleh individu semata. Perlu kerja kolektif dari keluarga, komunitas, dan pemerintah. Dukungan sosial yang kuat terbukti membantu proses penyembuhan dan pencegahan gangguan mental.
“Kadang yang dibutuhkan bukan solusi, tapi empati. Dengarkan, temani, dan jangan menghakimi. Kita semua bisa jadi bagian dari sistem dukungan itu,” tutup Ika.