Sumber foto: Google

Kesehatan Mental Makin Genting, Tapi Layanan Psikolog di Daerah Nyaris Tak Ada

Tanggal: 17 Mei 2025 15:35 wib.
Tampang.com | Sejak pandemi COVID-19 melanda, kasus gangguan kesehatan mental melonjak tajam di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sayangnya, upaya penanganan di tingkat layanan primer masih tertinggal, terutama di daerah-daerah pelosok yang nyaris tidak memiliki tenaga psikolog atau psikiater.

Gangguan Mental Jadi Bom Waktu Pasca Pandemi
Rasa kehilangan, tekanan ekonomi, isolasi sosial, dan ketidakpastian hidup pasca pandemi membuat banyak orang mengalami stres berat, depresi, hingga gangguan kecemasan. Data Kemenkes menunjukkan peningkatan signifikan kunjungan ke layanan konsultasi psikologis sejak 2021.

“Orang tua saya tidak paham, mereka pikir saya hanya kurang bersyukur. Padahal saya sudah coba bertahan,” cerita Rina, warga Blora yang mengalami depresi ringan sejak pandemi.

Minimnya Fasilitas dan Tenaga Ahli di Daerah
Kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan layanan sangat mencolok. Banyak puskesmas di luar Jawa tidak memiliki psikolog atau konselor profesional. Bahkan, untuk sekadar mendapatkan diagnosis, pasien harus menempuh jarak puluhan kilometer ke kota kabupaten.

Stigma dan Kurangnya Literasi Jadi Penghalang
Masalah lain adalah stigma sosial. Gangguan mental masih dianggap tabu, sehingga banyak penderita memilih diam atau hanya mencari pengobatan alternatif. Edukasi publik soal kesehatan jiwa masih sangat terbatas, bahkan di kalangan tenaga kesehatan sekalipun.

Solusi: Perluasan Layanan, Insentif Psikolog, dan Edukasi Nasional
Pemerintah didesak untuk memperluas jangkauan layanan kesehatan mental hingga tingkat kecamatan, memberi insentif bagi psikolog yang mau bertugas di daerah, serta menjalankan kampanye nasional anti-stigma terhadap gangguan jiwa.

“Kalau kita anggap ini bukan masalah serius, kita akan melihat ledakan krisis psikososial dalam waktu dekat,” tegas Dr. Farhan Maulana, psikiater di RSUD Makassar.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved