Kesehatan Mental di Kantor Masih Jadi Tabu? Mengapa Karyawan Enggan Bersuara
Tanggal: 13 Mei 2025 23:14 wib.
Tampang.com | Di tengah tuntutan kerja yang semakin tinggi, isu kesehatan mental di tempat kerja menjadi semakin relevan. Namun ironisnya, banyak karyawan masih enggan membicarakan stres, kelelahan mental (burnout), atau tekanan emosional yang mereka alami. Apakah budaya kerja di Indonesia masih belum ramah terhadap kesehatan mental?
Stres dan Burnout, Tapi Tak Ada Ruang Bicara
Banyak pekerja mengalami tekanan berlebih karena target tinggi, jam kerja panjang, dan kurangnya dukungan dari atasan. Namun, berbicara soal kesehatan mental masih dianggap lemah atau tidak profesional.
“Saya takut dianggap tidak mampu jika bilang ke atasan bahwa saya terlalu stres. Jadi, saya simpan sendiri sampai akhirnya burnout,” ungkap Yuni, 28 tahun, pegawai swasta di Jakarta.
Menurut survei Kesehatan Jiwa Indonesia (2024), lebih dari 60% responden menyatakan pernah mengalami stres berat di tempat kerja, namun hanya 15% yang pernah melaporkannya ke HRD atau atasan langsung.
Stigma dan Minimnya Edukasi
Salah satu akar persoalan adalah stigma terhadap isu kesehatan mental. Dalam banyak budaya kerja, bicara soal stres atau kecemasan dianggap sebagai bentuk kelemahan atau alasan untuk menghindari tanggung jawab.
“Padahal justru sebaliknya, orang yang berani bicara soal kondisi mentalnya adalah mereka yang ingin tetap sehat dan produktif,” jelas Dr. Lila Handayani, psikolog industri dan organisasi.
Selain itu, masih banyak perusahaan yang tidak memiliki edukasi atau pelatihan terkait kesehatan mental di tempat kerja. Akibatnya, HRD dan manajer seringkali tidak tahu bagaimana merespons jika ada karyawan yang mengalami tekanan mental.
Peran Perusahaan dalam Membangun Budaya Sehat
Pakar menilai bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kesehatan mental. Ini mencakup transparansi komunikasi, keseimbangan kerja-hidup, dan ruang aman bagi karyawan untuk berbicara.
“Tidak cukup hanya dengan program sekali setahun. Perusahaan perlu membangun budaya yang mengizinkan karyawan merasa aman untuk bicara tanpa takut dihakimi,” tambah Dr. Lila.
Beberapa perusahaan progresif mulai menerapkan kebijakan seperti hari kesehatan mental, layanan konseling gratis, dan pelatihan bagi manajer agar lebih peka terhadap tanda-tanda stres atau burnout pada karyawan mereka.
Solusi: Normalisasi Percakapan dan Sistem Dukungan Nyata
Agar kesehatan mental tidak lagi jadi isu yang tabu, perlu ada normalisasi percakapan di tempat kerja. Edukasi rutin, penyediaan konselor atau psikolog organisasi, dan pelibatan karyawan dalam perancangan sistem dukungan adalah langkah penting.
“Jika karyawan merasa didengar dan dipahami, produktivitas justru akan meningkat. Kesehatan mental adalah aset penting bagi keberlangsungan perusahaan,” kata Dr. Lila.
Perusahaan dan karyawan sama-sama perlu membangun kepercayaan. Tanpa dukungan yang nyata, tekanan mental akan terus menjadi bom waktu yang berdampak pada kinerja, hubungan kerja, dan kualitas hidup.