Keprihatinan terhadap Kelangkaan Obat Pasien Pasca Transplantasi Ginjal di RSCM
Tanggal: 28 Apr 2024 22:41 wib.
Pernahkah Anda membayangkan bagaimana rasanya tidak bisa mendapatkan obat yang sangat dibutuhkan untuk menjaga kesehatan Anda? Bagi para pasien pasca-transplantasi ginjal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan, hal ini bukan sekadar bayangan, melainkan kenyataan yang mereka hadapi setiap harinya. Kelangkaan obat yang terjadi selama berbulan-bulan telah menciptakan keprihatinan dan kekhawatiran yang mendalam di kalangan pasien, serta mendorong Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) untuk bersuara keras mengecam situasi tersebut.
Seorang pasien bernama Achwan (50 tahun) menuturkan bahwa pasien yang menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan selalu terlambat mendapatkan obat. Bahkan, pada bulan April 2024, pasien seperti dirinya sama sekali tidak mendapatkan obat yang sangat penting bagi kelangsungan hidup mereka. "Bulan ini saya belum ada kabar sama sekali dari farmasi Kanigara RSCM untuk mengambil obat," ungkap Achwan dengan kecemasan yang terlihat jelas dalam kata-katanya.
Menurut hasil penelusuran Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), obat-obat jenis Sandimmun, Certican, dan Myfortic, yang merupakan obat utama bagi pasien transplantasi organ, terus mengalami kelangkaan. Kondisi ini telah menciptakan dampak yang sangat serius bagi para pasien, di mana risiko terbesar yang dihadapi adalah ginjal donor akan mengalami penolakan atau rejeksi jika obat yang dibutuhkan tidak segera tersedia.
Terkait dengan hal ini, tergambar kecemasan dan kesulitan yang dihadapi oleh para pasien. Para pasien mencari jalan keluar dengan cara yang belum seharusnya mereka lakoni. Sebagai contoh, mereka saling meminjam obat kepada sesama pasien pasca-transplantasi, atau bahkan terpaksa untuk membeli obat dengan biaya yang sangat mahal, yang pada akhirnya memberatkan mereka secara finansial. Dengan situasi ini, sangatlah penting untuk segera menemukan solusi agar pasien tidak hanya terhindar dari risiko kesehatan, namun juga dari tekanan psikologis yang mereka alami.
Tentu saja, kondisi ini tidak hanya memengaruhi pasien secara individu, namun juga menciptakan dampak yang lebih luas di kalangan para pasien pasca-transplantasi. Mereka terpaksa menerima fakta bahwa stok obat yang mereka miliki semakin menipis, sementara prospek mendapatkan obat selanjutnya semakin suram. Kondisi ini memunculkan ketakutan dan kekhawatiran yang lebih dalam di kalangan para pasien, seperti yang diakui oleh Salsa (27 tahun), seorang pasien lain di RSCM. Untuk mengatasi hal ini, Salsa bahkan terpaksa mengurangi dosis obat yang dia konsumsi agar harganya lebih terjangkau, meskipun dia sadar akan risiko kesehatan yang dihadapi dengan tindakan tersebut.
KPCDI, sebagai wadah bagi para pasien cuci darah dan transplantasi ginjal, memandang perlu untuk mengangkat isu ini ke level yang lebih tinggi. Ketua Umum KPCDI Tony Richard Samosir menyatakan kecaman keras terhadap kelangkaan obat yang telah berlangsung selama berbulan-bulan di RSCM. Dalam pandangannya, situasi ini memiliki potensi untuk merusak kualitas hidup para pasien pasca-transplantasi, bahkan bisa membahayakan nyawa mereka.
Lebih lanjut, Tony menyatakan bahwa kelangkaan obat imunosupresan bagi pasien transplantasi organ bukanlah suatu permasalahan yang sepele. Setiap penundaan dalam pemberian dosis obat itu sendiri dapat mengancam nyawa para pasien, dengan risiko penolakan organ yang bisa berujung fatal. Hal ini menampilkan ketidakpedulian yang terlalu lama dari pihak terkait, yang mengesampingkan hak dan keselamatan para pasien sebagai prioritas utama.
KPCDI juga telah berupaya untuk menghubungi pihak terkait, termasuk Kementerian Kesehatan, Direktur Utama RSCM, dan BPJS Kesehatan, namun hingga saat ini belum ada respons yang memadai dari pihak terkait. Mereka menegaskan bahwa pembiaran terhadap kelangkaan obat untuk peserta BPJS Kesehatan adalah suatu pelanggaran terhadap hak asasi pasien dan berpotensi membahayakan nyawa mereka.
Sebagai implikasi dari hal ini, KPCDI telah mendesak Komisi IX DPR RI untuk secara aktif menanggapi isu kelangkaan obat ini, dengan memanggil pihak terkait untuk menemukan solusi konkret dalam rapat kerja. Mereka juga berencana untuk melaporkan persoalan ini kepada Ombudsman dalam upaya untuk mendapatkan perlindungan yang lebih kuat bagi para pasien pasca-transplantasi.
Dalam perspektif hukum, kelangkaan obat bagi peserta BPJS Kesehatan merupakan pelanggaran terhadap UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, di mana setiap orang berhak atas pelayanan kesehatan yang bermutu. Dengan demikian, permasalahan ini bukan hanya menjadi tugas KPCDI untuk menuntut penyelesaian yang adil, tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama bagi semua pihak terkait untuk menemukan solusi yang memadai.
Menyadari urgensi dari situasi ini, kita semua berharap agar pihak terkait segera menyikapi dan menindaklanjuti keluhan para pasien dengan solusi yang nyata dan cepat.