Sumber foto: Pelayanan kepada masyarakat di Kantor BPJS Kesehatan Jambi, Senin (20/1/2025).

Kartu Sehat Sejuta Umat Ambisi UHC Terganjal Antrean Panjang dan Tunggakan Abadi

Tanggal: 2 Nov 2025 07:29 wib.
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan adalah salah satu proyek asuransi kesehatan terbesar di dunia. Ini adalah ambisi raksasa yang dilandasi prinsip mulia gotong royong. Tujuannya jelas: yang sehat membantu yang sakit, yang kaya menopang yang miskin.

Dalam satu dekade terakhir, program ini telah mencatat sukses besar secara kuantitas. Kartu hijau-putih BPJS Kesehatan kini telah ada di dompet mayoritas penduduk Indonesia. Namun, di balik capaian monumental itu, BPJS Kesehatan terus bergelut dengan tiga masalah kronis. Ini meliputi kualitas layanan, keadilan akses, dan "hantu" keuangan yang terus menghantui.

Ambisi Pemerataan JKN: Mayoritas Rakyat Terlindungi

Secara angka, BPJS Kesehatan adalah sebuah kisah sukses yang fenomenal. Pemerintah bahkan telah mengumumkan bahwa status Universal Health Coverage (UHC) hampir tercapai. Ini adalah indikator penting cakupan jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk.

Per Oktober 2025, kepesertaan JKN telah melampaui 270 juta jiwa. Angka ini setara dengan lebih dari 96% total penduduk Indonesia. Ini adalah pencapaian logistik yang luar biasa dan patut diapresiasi UHC JKN, Jaminan Kesehatan Semua, Cakupan Kepesertaan JKN. Pemerataan ini sangat didorong oleh segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI). Negara membayarkan iuran bulanan untuk puluhan juta warga miskin dan tidak mampu melalui APBN dan APBD. Tujuannya adalah memastikan tidak ada lagi WNI yang tidak bisa berobat karena ketiadaan biaya. Secara administrasi, ambisi pemerataan ini memang sudah hampir tuntas.

Ketika Kartu Sehat Tak Selalu Menjamin Layanan Prima

Di sinilah letak masalah sesungguhnya yang kerap dirasakan masyarakat. Memiliki kartu BPJS adalah satu hal, namun mendapatkan layanan berkualitas adalah hal lain. Ada berbagai halangan berlapis yang perlu kita hadapi. Ini menguji kesabaran dan keyakinan pada sistem.

Keluhan paling klasik dan paling banyak dirasakan adalah antrean panjang seperti "ular naga". Baik di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (Faskes I) seperti Puskesmas, maupun di rumah sakit. Pasien harus rela menghabiskan waktu berjam-jam. Terkadang bahkan harus mendaftar sejak subuh, hanya untuk mendapatkan layanan kesehatan. Ini tentu membuang waktu dan energi.

Selain itu, sistem rujukan berjenjang yang rumit seringkali menjadi 'tembok' birokrasi. Pasien tidak bisa langsung ke dokter spesialis di rumah sakit besar. Mereka harus melalui Faskes I terlebih dahulu. Jika Faskes I tidak bisa menangani, baru dirujuk ke RS Tipe C, lalu Tipe B, dan akhirnya Tipe A. Bagi pasien dalam kondisi darurat atau yang tinggal di daerah terpencil, prosedur ini bisa "membuang waktu emas". Situasi ini berpotensi membahayakan nyawa.

Ironi pemerataan juga terjadi di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan (DTPK). Penduduk mungkin 100% memiliki kartu BPJS. Namun, rumah sakit terdekat bisa berjarak enam jam perjalanan perahu. Jumlah dokter spesialis, ketersediaan obat, dan fasilitas penunjang sangat jomplang antara Jawa dan luar Jawa. Ini menunjukkan bahwa cakupan kartu belum berarti akses layanan yang merata Kualitas Layanan BPJS, Akses Kesehatan BPJS, Tantangan Pelayanan BPJS.

Masalah besar lainnya datang dari kepatuhan "gotong royong" yang pincang. Ini banyak terjadi pada peserta mandiri (PBPU - Peserta Bukan Penerima Upah). Banyak yang mendaftar hanya ketika sakit, lalu berhenti membayar iuran setelah sembuh. Pola "hit-and-run" ini merusak prinsip gotong royong yang menjadi dasar JKN. Hal ini juga membebani keuangan sistem secara keseluruhan.

Transformasi Keuangan: Dari Defisit ke Surplus, Namun Tunggakan Mengancam

Publik tentu ingat bagaimana selama bertahun-tahun, terutama sebelum 2020, BPJS Kesehatan identik dengan kata defisit. Pengeluaran untuk klaim kesehatan, terutama penyakit katastrofik seperti jantung dan kanker, jauh lebih besar daripada pendapatan iuran. Defisit triliunan rupiah ini pernah membuat BPJS menunggak pembayaran ke rumah-rumah sakit. Ini mengganggu arus kas rumah sakit dan ketersediaan layanan.

Dulu, penanganannya bersifat darurat. Pemerintah berulang kali menyuntikkan dana talangan melalui Penyertaan Modal Negara (PMN). Tujuannya hanya untuk "menjaga BPJS tetap bernapas". Namun, solusi permanen dibutuhkan. Solusi "pahit" akhirnya diambil pada tahun 2020-2021, yaitu kenaikan iuran peserta. Meskipun sangat tidak populer dan menuai protes, langkah ini terbukti manjur.

Ajaibnya, sejak 2021 hingga kini, kondisi keuangan BPJS Kesehatan berbalik 180 derajat. BPJS tidak lagi defisit, melainkan mencatatkan surplus triliunan rupiah Surplus BPJS Kesehatan, Kondisi Keuangan BPJS, Defisit BPJS. Lembaga ini sekarang "sehat" secara finansial di neraca keuangannya.

Namun, hantu keuangan itu telah berganti wujud. Masalahnya kini bukan lagi defisit di neraca BPJS. Masalahnya adalah tunggakan iuran peserta yang nilainya melambung tinggi. Ini adalah piutang BPJS yang "nyangkut" di peserta mandiri yang malas membayar. Total tunggakan iuran ini mencapai puluhan triliun rupiah dan terus bertambah setiap saat.

Pemerintah pun mengambil jurus "paksaan" agar peserta patuh membayar tunggakan. Jika dulu pemerintah "memaksa" publik menerima kenaikan iuran, kini ada kebijakan baru. BPJS Kesehatan kini menjadi syarat wajib untuk berbagai layanan publik. Mulai dari mengurus SKCK, perpanjangan SIM, jual beli tanah, hingga pendaftaran haji atau umrah. Pemerintah menggunakan skema ini untuk "mengunci" warga agar tidak bisa lari dari tanggung jawab membayar iuran.

BPJS Kesehatan adalah sebuah ironi: sebuah program yang sukses besar secara kuantitas. Namun, ia masih harus berjuang keras untuk menaklukkan masalah kualitas layanan. Tantangan lain adalah mendisiplinkan para pesertanya sendiri demi prinsip gotong royong yang berkelanjutan.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved