Sumber foto: iStock

Indonesia Jadi Penggerak Utama Perjanjian Pandemi WHO: Apa Isi Kesepakatan Global yang Bisa Mengubah Masa Depan Dunia?

Tanggal: 4 Mei 2025 08:55 wib.
Indonesia kembali menunjukkan peran strategisnya di panggung internasional. Dalam perundingan Perjanjian Pandemi WHO (WHO Pandemic Agreement) yang berlangsung di Jenewa, Swiss, negara ini menjadi salah satu aktor kunci dalam mendorong lahirnya kesepakatan global penting yang diyakini akan mengubah cara dunia merespons krisis kesehatan di masa depan.

Kesepakatan yang final pada Rabu, 16 April 2025 waktu setempat, merupakan hasil dari negosiasi panjang yang mencakup 13 putaran resmi serta puluhan pertemuan informal sejak dimulainya diskusi pada Februari 2022. Keberhasilan menyusun perjanjian ini menjadi bukti nyata komitmen komunitas global untuk memperkuat ketahanan sistem kesehatan dunia dan membangkitkan kembali semangat kerja sama multilateral di tengah berbagai tantangan global yang kompleks.

Dalam pernyataan resminya kepada CNBC Indonesia, Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa menyampaikan bahwa Indonesia tampil sebagai motor penggerak dalam memperjuangkan nilai-nilai keadilan (equity) dan solidaritas global selama proses negosiasi berlangsung. Langkah ini memperkuat posisi Indonesia sebagai negara yang vokal dan aktif dalam membela hak-hak negara berkembang di forum internasional.

Salah satu kontribusi besar Indonesia adalah inisiasinya dalam membentuk dan memimpin Group for Equity (GfE) — sebuah koalisi beranggotakan lebih dari 30 negara berkembang. GfE hadir untuk memastikan bahwa dalam situasi pandemi, setiap negara memiliki akses yang adil terhadap sumber daya penting seperti vaksin, obat-obatan, dan alat diagnostik.

Dari hasil negosiasi tersebut, lahirlah sistem Pathogen Access and Benefit-Sharing (PABS) — sebuah skema berbasis keadilan yang bertujuan untuk mempercepat sekaligus memeratakan distribusi produk-produk kesehatan selama darurat pandemi. Sistem ini juga dirancang agar semua negara dapat berkontribusi dan memperoleh manfaat secara setara dari informasi dan materi genetik patogen yang dibagikan untuk tujuan penelitian dan pengembangan.

Selain itu, perjanjian ini juga mencakup pendirian Global Supply Chain and Logistics Network (GSCL), sebuah jaringan logistik global yang akan bertugas memastikan kelancaran distribusi produk kesehatan penting ke seluruh penjuru dunia selama masa krisis. Langkah ini dianggap vital karena selama pandemi sebelumnya, banyak negara mengalami kendala serius dalam mengakses peralatan medis dan vaksin akibat gangguan rantai pasok global.

Bukan hanya soal distribusi, isi perjanjian juga menekankan pentingnya pencegahan dan kesiapsiagaan global. Beberapa komitmen yang dimuat dalam perjanjian tersebut antara lain: penguatan tenaga kesehatan di seluruh negara, peningkatan riset dan pengembangan (R&D), transfer teknologi medis lintas negara, diversifikasi lokasi produksi alat kesehatan agar tidak terpusat di wilayah tertentu, hingga penguatan sistem regulasi serta pengawasan mutu produk kesehatan.

Pemerintah Indonesia, melalui PTRI Jenewa, menegaskan bahwa seluruh komitmen ini tidak hanya menjadi simbol diplomasi global, melainkan juga langkah konkret untuk membangun sistem kesehatan dunia yang lebih inklusif, adaptif, dan tangguh terhadap ancaman krisis di masa mendatang.

Rencananya, hasil kesepakatan ini akan secara resmi diadopsi dalam forum World Health Assembly (WHA) ke-78 yang akan digelar pada 19 hingga 27 Mei 2025. Namun demikian, implementasi penuh dari perjanjian ini masih akan menunggu penyusunan detail teknis yang tercantum dalam lampiran perjanjian (Annex), yang baru akan mulai dibahas pada bulan September 2025.

Sebagai negara pelopor dalam prinsip keadilan global di bidang kesehatan, Indonesia menegaskan bahwa pelaksanaan perjanjian ini harus menjunjung tinggi semangat kerja sama internasional. Pemerintah Indonesia mendorong agar setiap negara, tanpa terkecuali, dilibatkan dalam proses dan tidak ada negara yang ditinggalkan dalam penanganan krisis kesehatan skala global.

Pendekatan inklusif ini diyakini menjadi kunci keberhasilan dalam merespons pandemi di masa depan. Sebab, seperti yang telah terbukti dari pengalaman pandemi sebelumnya, tidak ada negara yang benar-benar aman sampai seluruh dunia terlindungi.

Perjanjian ini bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga tentang keadilan, keberlanjutan, dan solidaritas kemanusiaan. Dengan menjadi penggerak utama dalam kesepakatan bersejarah ini, Indonesia tidak hanya memperkuat posisinya di ranah global, tetapi juga berkontribusi nyata bagi masa depan umat manusia.

Keterlibatan Indonesia yang aktif dan konsisten menunjukkan bahwa negara berkembang pun mampu menjadi pelaku utama dalam menyusun arsitektur kesehatan dunia. Kini, tantangan berikutnya adalah memastikan semua pihak berkomitmen melaksanakan kesepakatan dengan penuh tanggung jawab dan integritas.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved