Sumber foto: Google

Gangguan Mental Meningkat Drastis, Penanganan Masih Setengah Hati?

Tanggal: 12 Mei 2025 22:27 wib.
Tampang.com | Tiga tahun setelah pandemi mereda, Indonesia menghadapi krisis baru yang tidak kalah genting: meningkatnya gangguan kesehatan mental di masyarakat. Laporan Kementerian Kesehatan mencatat kenaikan signifikan kasus depresi, kecemasan, dan gangguan stres pascatrauma. Ironisnya, penanganan terhadap masalah ini masih dianggap remeh.

“Kesehatan mental seharusnya jadi prioritas, bukan pelengkap,” ujar dr. Sita Mulyani, psikiater RSUD Cempaka. “Sayangnya, kita masih menghadapi stigma dan keterbatasan layanan.”

Angka Meningkat, Tapi Fasilitas Tak Bertambah

Menurut survei Riset Kesehatan Dasar 2024, sekitar 17% penduduk Indonesia mengalami gejala gangguan psikologis, naik dari 10% sebelum pandemi. Namun, rasio psikolog dan psikiater di Indonesia masih sangat minim — hanya sekitar 1 psikiater per 250.000 penduduk.

Selain itu, layanan kesehatan mental di Puskesmas belum merata. Hanya 37% Puskesmas yang memiliki tenaga konselor atau psikolog terlatih.

“Akibatnya, banyak pasien datang sudah dalam kondisi kronis karena tidak tahu harus ke mana,” kata dr. Sita.

Faktor Ekonomi dan Sosial Jadi Pemicu Utama

Pandemi menyisakan trauma yang dalam. Banyak orang kehilangan pekerjaan, anggota keluarga, hingga kepercayaan diri. Belum lagi tekanan ekonomi, relasi sosial yang renggang, serta maraknya informasi negatif di media sosial memperburuk kondisi psikis masyarakat.

Gangguan mental pun tak mengenal usia. Anak-anak, remaja, hingga lansia kini menghadapi tantangan yang berbeda namun sama beratnya.

“Mental breakdown itu nyata. Tapi karena tidak berdarah dan tidak terlihat, orang menganggapnya bukan penyakit,” tambah dr. Sita.

Stigma dan Miskonsepsi Masih Tinggi

Bukan hanya kurangnya layanan, persoalan utama lainnya adalah stigma sosial. Banyak masyarakat masih menganggap gangguan mental sebagai “kurang iman” atau “masalah pribadi”, sehingga menutup diri dari bantuan profesional.

Tak sedikit pasien yang enggan datang ke psikolog karena takut dicap “gila” atau “lemah mental”.

“Kita butuh edukasi yang masif agar masyarakat paham bahwa merawat mental itu sama pentingnya dengan merawat fisik,” ujar dr. Sita.

Rekomendasi: Integrasi Layanan dan Edukasi Publik

Para pakar menekankan pentingnya kebijakan kesehatan mental yang holistik:



Tambah tenaga psikolog dan psikiater, terutama di daerah


Integrasikan layanan mental di Puskesmas dan sekolah


Edukasi publik lewat media dan komunitas


Sediakan layanan daring (telekonsultasi) yang terjangkau


Libatkan tokoh masyarakat untuk menghapus stigma



Kesehatan Mental adalah Hak, Bukan Privilege

Di era pasca pandemi, kesehatan mental harus diakui sebagai isu krusial. Bukan hanya soal terapi dan obat, tapi soal membangun sistem yang peduli, responsif, dan adil. Negara yang sehat adalah negara yang peduli akan kesejahteraan batin warganya.

“Jangan tunggu orang runtuh baru ditolong. Tugas kita adalah membuat pertolongan selalu tersedia — sebelum terlambat,” tutup dr. Sita.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved