Sumber foto: PEXELS

Dokter Umum dan Operasi Caesar: Ruang untuk Refleksi, Bukan Reaksi

Tanggal: 12 Mei 2025 18:36 wib.
Tampang.com | Wacana pelatihan tindakan sectio caesarea (SC) bagi dokter umum baru-baru ini mencuat ke publik, memicu beragam reaksi. Di satu sisi, usulan ini bertujuan untuk mengatasi masalah akses layanan obstetri di wilayah terpencil. Namun, di sisi lain, banyak pihak—termasuk komunitas medis, organisasi profesi, dan publik—mengungkapkan keberatan, menyatakan bahwa kita belum siap secara etik, sistemik, maupun operasional untuk mengimplementasikan hal sebesar ini.

Sebagai seorang praktisi yang juga terlibat dalam manajemen sistem kesehatan, saya memandang isu ini bukan hanya soal boleh atau tidak, tetapi lebih kepada kedewasaan sistem kita dalam menyeimbangkan kebutuhan darurat dan prinsip kehati-hatian. Di dunia kedokteran, niat baik saja tidak cukup—dibutuhkan sistem yang kuat agar niat tersebut tidak berubah menjadi celah risiko.

Kompleksitas Tindakan SC: Lebih dari Sekadar Prosedur

Sectio caesarea bukanlah tindakan yang bisa dianggap ringan. Ini adalah prosedur besar yang melibatkan keputusan klinis yang kompleks, penguasaan anatomi dan fisiologi obstetri, serta kesiapan dalam menangani komplikasi akut pascaoperasi. Pelatihan singkat bagi dokter umum tidak akan pernah cukup untuk menggantikan tahun-tahun pembentukan kompetensi yang dimiliki oleh dokter spesialis obstetri dan ginekologi.

Jika pelatihan ini dilaksanakan tanpa penjaminan mutu yang memadai, keselamatan pasien dan kredibilitas layanan primer justru bisa terancam. Meski dalam beberapa situasi darurat, dokter umum atau dokter bedah pernah melakukan SC karena tidak ada pilihan lain, hal ini tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi standar. Kegagalan distribusi tenaga ahli secara merata menjadi penyebabnya. Namun, apakah kita ingin menjadikan kegagalan tersebut sebagai norma?

Pelajaran dari Negara Lain: Sistem Pengawasan yang Solid

Melihat negara-negara seperti Australia dan Kanada, kita dapat melihat model GP obstetrician atau family physician yang memiliki kompetensi dalam melakukan SC. Namun, model ini tidak sembarangan. Mereka melewati program pelatihan khusus setara fellowship, sertifikasi ketat, serta berada dalam sistem pengawasan yang solid. Tidak ada yang belajar SC dalam waktu singkat hanya karena alasan distribusi tenaga medis yang tidak merata.

Dalam sistem kesehatan yang matang, perluasan kompetensi selalu diiringi oleh perluasan tanggung jawab dan penguatan struktur pendukung, seperti fasilitas anastesi dan NICU. Di Indonesia, diskusi ini muncul di tengah transisi besar setelah pengesahan UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023.

UU Kesehatan 2023: Fleksibilitas dalam Pelayanan Kesehatan

Undang-Undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023 memang membuka ruang bagi fleksibilitas pelayanan kesehatan, termasuk dalam hal perluasan peran tenaga kesehatan. Namun, penting untuk dicatat bahwa UU ini tetap menekankan akreditasi fasilitas, sistem rujukan berjenjang, serta kompetensi berbasis bukti. Pasal 204 dan 205 UU ini menggarisbawahi bahwa pelayanan medis harus dilaksanakan oleh tenaga yang kompeten dan sesuai dengan standar.

Jika kita ingin memperluas akses, caranya bukan dengan menurunkan ambang batas kompetensi, tetapi dengan memperkuat sistem pelatihan, memberikan insentif distribusi tenaga spesialis, dan membangun ekosistem rujukan yang adaptif. Redistribusi beban tidak boleh mengorbankan mutu. Kita harus memperkuat layanan primer, bukan membebani dokter umum dengan tugas besar yang tidak didukung dengan struktur yang memadai.

Meningkatnya Kualitas Layanan Primer: Sebuah Capaian yang Perlu Diperhatikan

Dalam beberapa tahun terakhir, kualitas layanan primer di Indonesia terus mengalami peningkatan. Banyak dokter umum kini telah mendapatkan pelatihan tambahan yang relevan, mulai dari penanganan kegawatdaruratan maternal hingga kemampuan melakukan USG dasar untuk skrining kehamilan risiko tinggi. Puskesmas di berbagai daerah bahkan telah mencapai akreditasi paripurna dan membangun kepercayaan publik sebagai lini pertama yang tangguh.

Namun, karena kita sudah mulai membangun pondasi yang kokoh, perluasan kompetensi ke arah tindakan besar seperti SC harus ditempatkan dalam kerangka sistem yang menyeluruh, bukan sebagai respons reaktif terhadap kelangkaan spesialis.

Membangun Sistem Kesehatan yang Tangguh

Sebagai bagian dari sistem kesehatan, kebijakan semacam ini menyentuh banyak elemen yang saling terkait, mulai dari keselamatan pasien, beban kerja dokter umum, risiko hukum, hingga dampaknya terhadap akreditasi fasilitas. Jika tidak dirancang dengan baik, kebijakan ini justru dapat menciptakan fragmentasi baru dalam layanan dasar. Yang paling dirugikan bukan hanya dokter, tetapi pasien—terutama mereka yang berada dalam kelompok miskin dan tinggal jauh dari akses spesialis.

Saya yakin bahwa semua dokter, baik umum maupun spesialis, bekerja dengan niat luhur. Namun dalam sistem kesehatan, niat baik saja tidak cukup. Kita membutuhkan kerangka yang menjamin keselamatan, keadilan, dan akuntabilitas dalam setiap tindakan medis.

Ruang Diskusi untuk Perbaikan Sistem Kesehatan

Oleh karena itu, diskusi ini seharusnya bukan tentang perebutan kewenangan, melainkan tentang keberanian untuk memperbaiki sistem kesehatan kita secara menyeluruh. Mari kita berhenti bereaksi dengan jalan pintas atas kegentingan yang ada. Sebaliknya, ini adalah saat yang tepat untuk membuka ruang refleksi. Apakah kita sedang menyelamatkan sistem kesehatan, atau hanya menghindari tanggung jawab jangka panjang?

Dalam dunia medis, niat baik hanyalah langkah awal. Yang menentukan adalah bagaimana kita mengimplementasikannya dengan aman, adil, dan tentunya bermanfaat bagi masyarakat.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved