Burnout Makin Umum di Kalangan Pekerja Muda, Apakah Kita Sudah Terlalu Terbiasa dengan Stres?
Tanggal: 9 Mei 2025 06:34 wib.
Tampang.com | Di era kerja fleksibel dan remote, stres kerja justru meningkat drastis. Banyak pekerja muda mengalami burnout—kondisi kelelahan fisik, mental, dan emosional akibat tekanan pekerjaan yang berkepanjangan. Fenomena ini kini bukan sekadar keluhan individual, tapi telah menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Burnout Diakui WHO sebagai Sindrom Resmi
Pada tahun 2019, WHO resmi mengklasifikasikan burnout sebagai sindrom akibat stres kerja kronis yang tidak berhasil dikelola. Di Indonesia, tren burnout meningkat signifikan, terutama di kalangan profesional muda dan pekerja startup.
“Banyak anak muda merasa harus terus produktif demi karier, sampai lupa istirahat. Akhirnya tubuh dan pikiran kelelahan total,” kata Intan Larasati, M.Psi., psikolog klinis dari Jakarta.
Gejala Burnout yang Sering Diabaikan
Gejala burnout bisa beragam, mulai dari kelelahan terus-menerus, penurunan performa kerja, hingga kehilangan motivasi dan munculnya gejala depresi. Ironisnya, banyak orang menganggap ini sebagai ‘hal biasa’.
“Bukan cuma lelah fisik. Burnout bisa membuat seseorang merasa hampa, kehilangan makna dalam pekerjaan, bahkan menarik diri dari interaksi sosial,” jelas Intan.
Budaya Kerja yang Memicu Burnout
Budaya hustle, jam kerja tak kenal batas, dan glorifikasi ‘kerja sampai drop’ membuat burnout dianggap bagian dari sukses. Perusahaan sering menuntut banyak, tapi tak menyediakan dukungan mental yang cukup.
“Bahkan di perusahaan modern yang menawarkan work-from-anywhere, tekanan justru makin tinggi karena batas antara kerja dan waktu pribadi kabur,” ujar Rendi, HRD di sebuah startup teknologi.
Dampaknya Bukan Sekadar Psikologis
Burnout berkaitan erat dengan gangguan kesehatan fisik seperti insomnia, gangguan pencernaan, bahkan jantung. Selain itu, produktivitas menurun dan turnover karyawan meningkat, merugikan perusahaan secara keseluruhan.
“Kalau burnout dibiarkan, efeknya sistemik: gangguan kesehatan, konflik internal, bahkan risiko bunuh diri meningkat,” tambah Intan.
Apa yang Bisa Dilakukan Pekerja dan Perusahaan?
Solusi burnout bukan hanya ‘healing’ sementara. Butuh sistem kerja sehat, jam kerja yang jelas, ruang diskusi mental health di tempat kerja, serta cuti yang benar-benar digunakan untuk pemulihan.
“Pekerja juga perlu belajar batasan. Tidak semua hal harus diselesaikan hari ini. Menolak lembur bukan tanda malas,” tegas Rendi.
Keseimbangan Kerja dan Hidup Adalah Hak, Bukan Kemewahan
Menjaga kesehatan mental harus menjadi prioritas, bukan hanya slogan. Burnout bisa dicegah jika lingkungan kerja lebih empatik dan pekerja lebih sadar akan sinyal tubuhnya sendiri.
“Pekerjaan bisa diganti, tapi kesehatan mental tidak. Dengarkan tubuh dan jangan takut bicara jika mulai lelah,” tutup Intan.