Burnout di Kalangan Pekerja Muda Semakin Meningkat, Apakah Dunia Kerja Sudah Terlalu Melelahkan?
Tanggal: 9 Mei 2025 06:30 wib.
Tampang.com | Istilah “burnout” bukan lagi hal asing, terutama di kalangan pekerja muda urban. Fenomena ini merujuk pada kelelahan emosional, fisik, dan mental akibat tekanan kerja berkepanjangan. Menurut WHO, burnout telah dikategorikan sebagai fenomena kerja yang perlu penanganan serius.
Burnout di Usia Produktif: Kenyataan Baru Dunia Kerja
Laporan BPJS Ketenagakerjaan tahun 2024 menunjukkan peningkatan klaim akibat gangguan psikologis, mayoritas berasal dari kelompok usia 22–35 tahun. Stres berlebih, target tinggi, hingga jam kerja tidak menentu menjadi penyebab utama.
“Banyak karyawan muda yang mengalami kelelahan mental, tapi mereka enggan bicara karena takut dianggap lemah atau tidak profesional,” ujar Putri Anindya, psikolog kerja di Bandung.
Budaya Hustle dan Tuntutan Tanpa Batas
Lingkungan kerja yang menjunjung tinggi “hustle culture” atau budaya kerja tanpa henti memperparah tekanan yang dirasakan karyawan. Banyak yang merasa harus selalu ‘on’ meski di luar jam kantor.
“Waktu istirahat dianggap malas, bukan kebutuhan. Inilah pola pikir yang harus dikoreksi,” tegas Dimas Wicaksono, HR Manager sebuah startup di Jakarta.
Dampak Jangka Panjang bagi Kesehatan
Burnout tidak hanya menurunkan produktivitas, tetapi juga meningkatkan risiko gangguan kesehatan serius, seperti insomnia, kecemasan kronis, bahkan depresi berat. Dalam beberapa kasus, burnout bisa memicu keinginan untuk mengundurkan diri atau bahkan bunuh diri.
“Burnout itu diam-diam mematikan. Jika tidak ditangani, dampaknya sangat luas—bukan hanya pada individu, tapi juga perusahaan,” jelas Putri.
Minimnya Perlindungan dan Fasilitas Kesehatan Mental
Sayangnya, masih banyak perusahaan yang belum menyediakan layanan konseling atau kebijakan kesehatan mental yang mendukung. Program seperti jam kerja fleksibel, cuti kesehatan mental, atau hari tanpa rapat masih minim diterapkan.
“Perusahaan harus sadar bahwa karyawan adalah aset jangka panjang. Menjaga kesehatan mental mereka adalah investasi,” kata Dimas.
Solusi: Ciptakan Lingkungan Kerja yang Manusiawi
Ahli menyarankan pentingnya pendekatan holistik: edukasi soal burnout, pelatihan manajemen stres, dan pemanfaatan teknologi untuk mengatur beban kerja. Peran atasan dalam menciptakan iklim kerja suportif sangat menentukan.
“Pemimpin harus bisa menjadi pendengar, bukan hanya pemberi target. Lingkungan kerja yang sehat dimulai dari atas,” tutup Putri.