Benarkah Cokelat Menyebabkan Jerawat?
Tanggal: 6 Okt 2024 21:55 wib.
Sejak lama, cokelat dan beberapa makanan manis lainnya kerap dianggap sebagai penyebab jerawat. Namun, tampaknya anggapan itu salah. Cokelat sejak lama memiliki reputasi sebagai penyebab jerawat. Apakah benar? Atau itu semua hanya cara orang tua agar anaknya tak memakan cokelat dan kudapan manis lainnya di pasar swalayan?
Pada akhir 1960-an, beberapa studi menganalisis hubungan antara cokelat dan jerawat. Hasilnya, tak ada kaitan antara keduanya. Namun, analisis tersebut hanya melibatkan 65 orang. Studi itu pun dikritik banyak pihak karena berbagai kekurangan pada sistem penelitiannya.
Walau kaitan cokelat dan kesehatan kulit hingga kini belum terbukti, studi terbaru mengindikasikan bahwa memang ada hubungan antara jerawat dan pola makan. Studi itu berfokus pada pola makan Barat, yang tinggi lemak, gula, dan produk susu.
Namun, jerawat yang lebih parah dan berulang pada remaja dan orang dewasa kebanyakan terjadi karena faktor genetik, kata Beibei Du-Harpur, seorang ahli dermatologi dan pengajar klinis di Kings College London. Menurut Du Harpur, gen manusia menentukan ukuran kelenjar sebasea yang memproduksi minyak. Produksi minyak ini berpengaruh pada pembentukan jerawat.
Kasus jerawat pada orang dewasa meningkat dalam beberapa tahun belakangan, terutama pada perempuan, tapi tak ada alasan pasti mengapa fenomena ini terjadi, kata Du-Harpur. Namun, katanya, beberapa faktor lingkungan dalam kehidupan sehari-hari dapat membawa pengaruh.
“Secara umum, gaya hidup kita tidak baik untuk tubuh manusia, dan mungkin jerawat merupakan manifestasi dari itu semua,” ujar Du-Harpur.
Dalam satu studi, peneliti berpendapat bahwa jerawat semakin parah akibat gaya hidup modern, termasuk pola makan Barat yang tinggi gula dan lemak.
Pemicu jerawat itu sendiri mencakup stres, tubuh tengah melawan infeksi, atau sedang PMS, ucap Zainab Laftah, seorang konsultan dermatologi di Rumah Sakit St Thomas di London sekaligus juru bicara Yayasan Kulit Inggris.
Cokelat pertama kali disebut-sebut sebagai pemicu jerawat sekitar enam dekade lalu. Hingga kini, masih banyak orang meyakini bahwa makanan tersebut benar-benar berpotensi menjadi penyebab jerawat.
Sekitar sembilan dari sepuluh pasien Laftah kerap bertanya kepada sang dokter mengenai makanan yang harus dihindari agar jerawat tak datang lagi. Cokelat adalah salah satu makanan yang paling sering ditanyakan.
“Memang ada salah kaprah, tapi ada sedikit fakta juga,” ucap Laftah.
Faktor utama jerawat memang genetik, tapi komponen tertentu dalam pola makan seseorang juga dapat memicu inflamasi, kata Laftah.
Sebagian orang memiliki respons kuat terhadap sejumlah kelompok makanan, seperti produk susu.
Namun, katanya, penumbuhan jerawat akibat produk susu sebenarnya sangat jarang.
Sejumlah peneliti juga sudah berupaya mencari tahu kandungan apa dalam cokelat yang berdampak pada jerawat. Sejauh ini, berbagai studi belum dapat memberikan kesimpulan. Kalau pun ada, kaitannya relatif kecil.
Satu studi pada 2011 meneliti tentang pengaruh makanan dengan kandungan 100% cokelat hitam, yang berarti tak ada gula di dalamnya, terhadap penumbuhan jerawat.
Riset itu menunjukkan konsumsi cokelat hitam bisa terkait dengan kemunculan jerawat. Namun, riset itu hanya melibatkan 10 peserta, dan tak ada kelompok kontrol di dalamnya.
Lebih jauh, salah satu kaitan antara jerawat dan pola makan dapat dilihat dari indeks glikemik (GI) pada makanan. GI sendiri merupakan indikator seberapa cepat suatu makanan dapat meningkatkan level gula darah dalam tubuh. Beberapa studi menunjukkan kaitan antara gejala jerawat dan makanan-makanan dengan GI tinggi, seperti buah, roti, dan pasta.
Makanan dengan GI tinggi dapat memperparah jerawat, kata Laftah, karena bisa meningkatkan level insulin di dalam tubuh.
Jumlah insulin ini dapat meningkatkan inflamasi, yang berarti memicu produksi minyak pada wajah. Minyak itu kemudian dapat menyumbat pori-pori, hingga berakhir pada jerawat. Namun, cokelat sendiri memiliki GI yang rendah hingga sedang.
Terlepas dari GI, beberapa studi lainnya menunjukkan kaitan antara jerawat dan menyantap makanan tinggi lemak dan gula. Salah satu riset terbesar mengenai kaitan tersebut diterbitkan pada 2020 lalu.
Riset itu membandingkan jerawat dan pola makan lebih dari 24 ribu orang. Para periset mengidentifikasi bahwa pola makan Barat kemungkinan berperan besar terhadap pembentukan jerawat.
Satu studi lainnya juga menemukan bahwa tak ada jerawat di tengah masyarakat yang tinggal di kepulauan Kitavan di Papua Nugini. Riset itu menyimpulkan warga di sana tak berjerawat karena mengonsumsi makanan yang rendah GI.
Meski demikian, para peneliti sudah menyesuaikan sejumlah faktor, yang kemungkinan dapat berpengaruh pada hasil akhir riset tersebut. Studi populasi semacam ini memang dikenal tak bisa dengan konkret membuktikan hubungan sebab-akibat secara langsung. Namun, para ilmuwan juga sudah mendalami hubungan lainnya yang bisa mengaitkan antara jerawat dan pola makan Barat.
“Jerawat merupakan sindrom metabolisme kulit. Banyak kaitan antara jerawat dan penyakit-penyakit Barat lainnya, seperti diabetes dan obesitas,” tutur Bodo Melnik, profestor dermatologi dan pengajar senior di Universitas Osnabruck, Jerman.
Dalam sebuah makalah pada 2015 lalu, dia mengatakan bahwa karbohidrat olahan (yang biasanya tinggi GI), susu, serta lemak jenuh dan lemak trans dapat memicu jerawat.
Menurutnya, itu terjadi karena pola makan tinggi GI memicu “respons berbahaya” terhadap folikel (tempat tumbuh rambut pada kulit), yang pada akhirnya meningkatkan produksi minyak.
Cokelat tidak mengandung banyak lemak jenuh, tapi bisa memiliki banyak gula.
Seberapa besar pengaruhnya tidak hanya bergantung pada pola makan secara keseluruhan, tapi juga tipe cokelat yang disantap. Kian gelap cokelat, semakin rendah kadar gulanya.
Di sisi lain, ada pula kemungkinan manfaat memakan cokelat hitam terhadap kesehatan kulit. Beberapa studi mengindikasikan cokelat hitam mengurangi stres oksidatif di dalam kulit, yang dapat berkontribusi pada inflamasi.
Stres oksidatif sendiri merupakan kondisi ketika radikal bebas dan antioksidan di dalam tubuh tidak seimbang.
Meski demikian, efek pengurangan stres oksidatif ini lebih berpengaruh untuk mengurangi tanda-tanda penuaan ketimbang mengurangi risiko jerawat.
“Memakan cokelat hitam membawa sejumlah manfaat bagi kulit karena mengandung flavonoid,” kata Laftah.
Menurut Laftah, beberapa jenis flavonoid “merupakan antioksidan yang kuat, yang memegang peran krusial dalam melepaskan radikal bebas dalam kulit, yang dapat memicu penuaan kulit.”
Yang terpenting, pola makan tertentu, seperti yang tinggi kalori dan rendah nutrisi, memang mungkin dapat berpengaruh pada inflamasi ringan dalam tubuh. Namun, inflamasi itu dapat berubah menjadi jerawat jika seseorang secara genetik memang rentan terhadap jerawat, kata Du-Harpur.
Secara umum, makanan yang baik untuk kesehatan, seperti buah, sayuran, dan makanan kaya anti-oksidan lainnya, tentu baik untuk kulit.
“Tubuh bekerja secara terkoordinasi, jadi segala sesuatu yang baik untuk hati dan otak, tentu baik pula untuk kulit,” katanya.