Beberapa Faktor yang Membuat Penanganan Kasus Tuberkulosis di Indonesia Sulit
Tanggal: 19 Nov 2024 09:34 wib.
Dr. Andi Khomeini Takdir Haruni, SpPD (K), seorang dokter spesialis penyakit dalam, memberikan gambaran jelas mengenai beberapa kendala yang membuat Indonesia sulit untuk mengendalikan kasus tuberkulosis (TBC). Menurutnya, ada tiga klaster utama yang menjadi penyebab utama sulitnya penanganan TBC di Indonesia.
Pertama, Andi menekankan bahwa pertumbuhan populasi penduduk Indonesia yang kini mendekati angka 300 juta menjadi salah satu faktor utama yang memperumit upaya penanganan TBC. Sebagian besar masyarakat masih tinggal di kawasan permukiman padat penduduk, yang memudahkan penularan TBC di antara mereka. Menurutnya, pola penularan TBC seringkali terjadi akibat riwayat kontak di antara penduduk kawasan padat penduduk, terutama karena kurangnya kebersihan dan adanya jumlah populasi yang besar.
Kedua, aktifitas sosial masyarakat yang sering bepergian dari satu tempat ke tempat lain juga menjadi faktor yang mendukung penularan TBC. Meskipun seseorang sudah terinfeksi kuman TBC, gejalanya tidak selalu muncul dengan cepat seperti halnya Covid-19 atau batuk biasa. Hal ini memungkinkan bagi mereka untuk tetap aktif berinteraksi dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya tanpa disadari bahwa mereka membawa kuman TBC.
Selain itu, faktor geografis Indonesia yang luas juga menjadi kendala serius dalam penanganan kasus TBC. Beberapa daerah, seperti kampung atau dusun di daerah pegunungan dan perbatasan, tidak memiliki akses yang mudah untuk mencapai layanan kesehatan atau fasilitas kesehatan. Tenaga kesehatan juga masih minim di daerah-daerah tersebut, menyulitkan upaya deteksi dan penanganan kasus TBC.
Faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan seseorang terkena TBC antara lain riwayat kontak dengan pasien lain yang memiliki gejala batuk lama selama dua minggu lebih, keringat malam hari, penurunan berat badan, dan batuk dengan keluarnya darah.
Pemerintah sendiri telah memperhatikan serius masalah TBC di Indonesia. Hingga kuartal pertama 2024, DKI Jakarta telah mencatat lebih dari 30 ribu kasus TBC. Dr. Maryati Kasiman dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta mengungkapkan bahwa capaian penemuan kasus TBC di DKI Jakarta pada semester pertama 2024 mencapai 30.270 kasus.
Data juga menunjukkan bahwa Indonesia, yang menempati posisi kedua dalam kasus tertinggi TBC di dunia setelah India, memiliki 1.060.000 kasus baru dan 134.000 kematian setiap tahunnya atau setara dengan 15 kematian akibat TB setiap jam.
Upaya penanganan TBC juga semakin diperkuat dengan program surveilans yang dilakukan secara agresif oleh pemerintah. Menkes Budi menyatakan bahwa tim surveilans berhasil menemukan 500 ribuan kasus TBC pada 2021, meningkat menjadi 700 ribuan kasus pada 2022, dan kembali meningkat menjadi 800 ribuan pada 2023. Harapannya, pada tahun ini, ditemukan 900 ribu kasus TBC, sehingga pasien TBC bisa segera diobati dan tidak akan menularkan penyakit tersebut ke orang lain setelah mendapat pengobatan.
Dalam konteks penanganan kasus TBC, memahami kendala-kendala yang dihadapi sangat penting untuk mengembangkan strategi yang efektif. Dengan demikian, upaya-upaya pencegahan dan penanganan TBC dapat lebih tepat sasaran dan efisien.
Terdapat beberapa langkah konkret yang dapat diambil untuk mengatasi kendala tersebut. Pertama, pemerintah perlu meningkatkan akses pelayanan kesehatan di daerah-daerah terpencil dengan memperbanyak dan memperkuat fasilitas kesehatan serta tenaga kesehatan di sana. Hal ini dapat membantu dalam mendeteksi kasus TBC secara dini dan memberikan pengobatan yang tepat.
Selain itu, edukasi mengenai TBC juga perlu ditingkatkan, baik mengenai gejala dan penyebaran, maupun langkah-langkah pencegahan yang dapat dilakukan oleh individu dan masyarakat. Dengan pengetahuan yang lebih baik, diharapkan masyarakat dapat lebih waspada terhadap potensi penularan TBC dan berperilaku lebih proaktif dalam melindungi diri dan keluarga dari penyakit ini.
Tentu saja, upaya penanganan TBC tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga memerlukan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat. Dukungan dan kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, organisasi masyarakat, serta individu sangat dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat serta menyediakan akses pelayanan kesehatan yang merata bagi seluruh penduduk Indonesia.
Sebagai upaya preventif, pengawasan kontak erat dengan penderita TBC merupakan bagian yang penting. Dengan adanya kesadaran untuk memeriksakan diri serta memberikan perlindungan bagi orang-orang di sekitarnya, penyebaran TBC dapat diminimalisir.
Hasil surveilans yang dilakukan oleh pemerintah harus dimanfaatkan secara maksimal untuk mengembangkan strategi yang lebih tepat sasaran dalam penanganan TBC. Surveilans yang efektif dapat membantu dalam mendeteksi kasus secara lebih akurat dan memungkinkan untuk melakukan tindakan intervensi yang lebih tepat pada kelompok-kelompok yang berisiko tinggi terinfeksi TBC.
Berdasarkan pemahaman mendalam mengenai kendala dan faktor risiko yang mempengaruhi penanganan TBC di Indonesia, langkah-langkah strategis dapat diambil untuk menyusun program penanganan yang lebih tepat sasaran dan efektif. Dengan kerjasama lintas sektor dan perhatian yang lebih besar kepada masalah TBC, diharapkan dapat tercipta perubahan positif dalam upaya penanganan TBCdi Indonesia.