Bagaimana Mengenali Toxic Positivity?
Tanggal: 23 Mei 2025 08:25 wib.
Toxic positivity adalah fenomena yang semakin banyak dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun sering kali dimaksudkan untuk membantu, toxic positivity dapat memiliki dampak negatif pada individu yang sedang berjuang dengan berbagai emosinya. Substitusi perasaan negatif dengan ungkapan positif yang berlebihan dapat membuat orang merasa tidak nyaman untuk menunjukkan atau mengatasi masalah mereka. Lalu, bagaimana kita mengenali toxic positivity?
Salah satu tanda pertama dari toxic positivity adalah ketika seseorang menggunakan ungkapan yang seolah-olah meremehkan atau mengabaikan perasaan negatif orang lain. Contohnya, jika seseorang berbicara tentang rasa sedih karena kehilangan pekerjaan dan teman-teman mereka menjawab dengan, "Jangan khawatir, segalanya akan baik-baik saja," itu adalah bentuk toxic positivity. Ungkapan ini bukan hanya tidak membantu, tetapi juga dapat membuat orang yang terluka merasa terasing dan tidak dimengerti.
Selain itu, toxic positivity sering kali terlihat dalam budaya yang menekankan pentingnya berpikir positif tanpa mempertimbangkan konteks. Ketika semua orang di sekitar Anda terus-menerus mengajak untuk "menjadi positif" bahkan dalam situasi sulit, itu dapat menciptakan tekanan untuk menyembunyikan perasaan sebenarnya. Rasa malu untuk merasakan kesedihan, kemarahan, atau stres dapat mengakibatkan efisiensi dalam menghadapi masalah yang dihadapi individu.
Kita juga dapat mengenali toxic positivity melalui lebih banyak pernyataan yang tidak realistis. Pernyataan seperti, "Jika kamu berusaha cukup keras, semua masalahmu akan hilang," adalah contoh dari sikap yang terlalu optimis. Meskipun memiliki semangat positif penting, pernyataan ini sering kali mengandung asumsi bahwa semua orang memiliki kontrol atas situasi mereka, padahal terkadang ada faktor eksternal yang tidak dapat diprediksi.
Tanda lainnya adalah ketika seseorang yang mengalami kesulitan merasa tertekan untuk selalu tersenyum atau terlihat bahagia di depan orang lain. Fenomena ini sering kali mendorong individu untuk menekan emosi mereka dan berpura-pura baik-baik saja, padahal dalam hati mereka sedang berjuang. Perasaan tidak berdaya ini bisa memperparah kecemasan atau depresi yang mereka alami. Ketika seseorang merasakan beban untuk menyembunyikan perasaannya demi menjaga citra positif, ini adalah salah satu bentuk toxic positivity yang perlu diwaspadai.
Toxic positivity juga dapat terwujud dalam bentuk kritik terhadap individu yang mengekspresikan perasaan negatif mereka. Sering kali, orang yang berusaha untuk tetap positif akan mengatakan hal-hal seperti, "Kamu terlalu fokus pada hal yang negatif," atau "Cobalah untuk bersyukur." Meskipun mungkin niatnya baik, kritik ini sering kali meremehkan pengalaman emosional orang lain. Semua orang memiliki hak untuk merasakan emosi mereka, baik positif maupun negatif.
Untuk mengenali toxic positivity secara lebih mendalam, kita juga perlu memperhatikan bagaimana kita berbicara dengan diri sendiri. Jika kita sering kali menekan perasaan negatif dengan pola pikir positif yang berlebihan, kita mungkin sedang terjebak dalam siklus toxic positivity. Mengakui ketidakpuasan, rasa sakit, atau bahkan kebingungan adalah langkah penting dalam proses penyembuhan, dan tidak seharusnya dianggap sebagai kelemahan.
Mengetahui bahwa toxic positivity ada di sekitar kita, baik dalam percakapan sehari-hari maupun dalam refleksi diri, sangat penting untuk kesehatan mental kita. Kita semua perlu ruang untuk merasakan dan menghadapi emosi kita tanpa merasa tertekan untuk selalu menjadi positif. Mari kita angkat kesadaran terhadap toxic positivity dan beri diri kita dan orang lain izin untuk merasakan dan berbicara tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam hidup kita.