Awal Mula Kecanduan Gorengan di Indonesia
Tanggal: 5 Okt 2024 18:45 wib.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya peningkatan yang signifikan dalam konsumsi makanan cepat saji di kalangan penduduk Indonesia. Salah satu jenis makanan cepat saji yang mengalami peningkatan tertinggi adalah gorengan, yang meningkat sebesar 6,7% dari 45% pada tahun 2018 menjadi 51,7% pada tahun 2023. Dari data tersebut, tercatat bahwa penduduk Indonesia usia 6 tahun ke atas mengonsumsi gorengan 1-6 kali seminggu.
Peningkatan konsumsi gorengan di Indonesia menimbulkan ancaman kesehatan yang serius, terutama karena gorengan sering kali diproses menggunakan minyak dan tepung berulang, yang berdampak buruk pada kesehatan masyarakat. Konsumsi gorengan yang meningkat juga berpotensi meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular atau penyakit jantung dan pembuluh darah.
Kenaikan konsumsi gorengan ini tidak terlepas dari kemudahan akses terhadap minyak goreng dan tepung terigu, yang pada awalnya baru terjadi pada dekade 1970-an. Meskipun kegiatan menggoreng makanan sudah menjadi kebiasaan umum di Indonesia sejak awal abad ke-20, namun sulit dilakukan karena harga tepung dan minyak yang cukup mahal.
Perubahan kebiasaan mengonsumsi gorengan ini mulai terjadi ketika industri tepung dan minyak sawit tumbuh pesat di Indonesia. Pada tahun 1970, Sudono Salim memperkenalkan merek tepung pertama di Indonesia yang diberi nama Bogasari. Menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016), kehadiran merek Bogasari membuat masyarakat Indonesia lebih mudah mendapatkan tepung dengan harga yang lebih terjangkau, sehingga mendorong konsumsi makanan olahan tepung.
Tak lama setelah itu, merek-merek minyak goreng baru dari kelapa sawit juga mulai bermunculan dan menggantikan minyak kelapa. Para pengusaha besar seperti Sudono Salim dan Eka Tjipta Widjaja memperkenalkan merek-merek minyak goreng seperti Bimoli, Kunci Mas, dan Filma. Semua merek ini kemudian memainkan peran penting dalam menyediakan minyak goreng selama masa Orde Baru. Bahkan, menurut Bustanil Arifin dalam Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia (2004), Bimoli pernah menguasai 75% pasar minyak goreng dalam negeri pada era Orde Baru.
Peran penting dari pengusaha industri sawit dan tepung ini secara tidak langsung mengajarkan masyarakat untuk menikmati gorengan dalam kehidupan sehari-hari. Penyebaran tepung dan minyak goreng yang massif ini membuat masyarakat semakin terbiasa dengan gorengan, bahkan dengan adanya ancaman terhadap kesehatan mereka.
Di setiap rumah tangga, tepung dan minyak goreng bukanlah barang yang sulit ditemui. Kedua bahan ini sering digunakan untuk mengolah menjadi gorengan, yang menjadi bagian dari menu harian masyarakat meskipun berdampak negatif pada kesehatan.
Dengan adanya kemudahan akses terhadap minyak goreng dan tepung terigu, serta peran besar industri sawit dan tepung dalam memasyarakatkan konsumsi gorengan, maka tidak mengherankan jika masyarakat Indonesia semakin kecanduan dengan makanan ini. Perlu adanya upaya nyata dalam mengedukasi masyarakat mengenai bahaya konsumsi gorengan secara berlebihan serta memperhatikan kualitas dan keamanan makanan yang dikonsumsi.
Membatasi konsumsi gorengan dan menggantinya dengan makanan yang lebih sehat menjadi langkah penting dalam upaya menjaga kesehatan masyarakat. Dukungan dan peran aktif dari pemerintah, industri, dan masyarakat dalam hal ini menjadi kunci penting dalam mengatasi masalah kecanduan gorengan di Indonesia.