Antibiotik Masih Sering Diminum Sembarangan, Apa Bahayanya bagi Tubuh?
Tanggal: 10 Mei 2025 08:29 wib.
Tampang.com | Meski sudah dilarang, praktik mengonsumsi antibiotik tanpa resep dokter masih menjadi kebiasaan banyak masyarakat di Indonesia. Obat yang seharusnya digunakan dalam pengawasan medis ini sering dibeli bebas di apotek atau warung tanpa pemahaman cukup tentang risikonya. Apa dampaknya?
Resistensi Antibiotik Menjadi Ancaman Global
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut resistensi antibiotik sebagai salah satu ancaman kesehatan terbesar abad ini. Di Indonesia, Kementerian Kesehatan melaporkan lonjakan kasus resistensi akibat penyalahgunaan antibiotik, terutama yang digunakan tanpa indikasi medis jelas.
“Resistensi terjadi saat bakteri menjadi kebal terhadap antibiotik. Akibatnya, infeksi biasa bisa menjadi sulit diobati bahkan mematikan,” jelas dr. Retno Wulandari, dokter penyakit dalam di sebuah rumah sakit di Jakarta.
Kebiasaan Berbahaya yang Dianggap Sepele
Banyak orang mengira antibiotik adalah obat serbaguna untuk segala sakit, dari batuk pilek hingga demam. Padahal, tidak semua penyakit disebabkan oleh bakteri. Virus seperti influenza tidak memerlukan antibiotik.
“Minum antibiotik saat flu itu percuma. Itu malah mempercepat resistensi. Kalau kita sering mengonsumsi tanpa perlu, tubuh jadi tidak merespons saat benar-benar butuh,” ujar Nurul Azizah, seorang apoteker di Bandung.
Kurangnya Edukasi dan Kontrol Penjualan
Masih banyak apotek atau toko obat yang menjual antibiotik tanpa resep demi keuntungan, meskipun aturan dari BPOM dan Kemenkes sudah melarang keras praktik ini. Selain itu, masyarakat juga belum cukup teredukasi tentang cara penggunaan antibiotik yang benar.
Upaya pemerintah untuk mengendalikan penjualan obat keras masih terkendala pengawasan yang terbatas dan budaya konsumsi obat instan tanpa konsultasi tenaga medis.
Dampaknya Bisa Merugikan Banyak Pihak
Jika resistensi antibiotik tidak dikendalikan, dampaknya tidak hanya untuk individu yang sakit, tapi juga bisa menyebar ke masyarakat luas. Biaya pengobatan akan meningkat karena perlu antibiotik generasi baru yang lebih mahal dan efek samping lebih berat.
“Jika kita tidak hati-hati, bisa muncul superbug, bakteri yang kebal terhadap semua antibiotik. Ini bisa membuat prosedur medis umum seperti operasi atau kemoterapi jadi berisiko tinggi,” tambah dr. Retno.
Peran Masyarakat dan Tenaga Medis
Penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa antibiotik bukan sembarang obat. Hanya dokter yang boleh menentukan apakah seseorang memerlukan antibiotik atau tidak. Sementara itu, apoteker dan tenaga medis punya tanggung jawab untuk tidak memberi obat keras tanpa resep.
Perubahan kebiasaan ini tidak bisa instan, tapi perlu kolaborasi antara pemerintah, tenaga kesehatan, pelaku industri farmasi, dan tentu saja masyarakat itu sendiri. Edukasi publik harus diperkuat, dan regulasi perlu ditegakkan lebih ketat agar penggunaan antibiotik kembali ke jalur yang aman dan benar.