3 Kebiasaan Sepele di Masa Muda Ini Bisa Bikin Otak Rusak di Usia Tua, Nomor 2 Sering Dilakukan Banyak Orang!
Tanggal: 15 Mei 2025 05:06 wib.
Menjaga kesehatan otak sejak dini merupakan investasi penting untuk kualitas hidup jangka panjang. Namun, banyak dari kita justru mengabaikan kebiasaan-kebiasaan kecil yang ternyata berdampak besar terhadap fungsi otak di masa depan. Dr. Baibing Cheng, seorang ahli neurologi dari University of Michigan, membagikan pengalamannya seputar tiga kebiasaan buruk yang ia sesali saat masih muda. Ia menekankan bahwa generasi saat ini perlu lebih bijak dalam menjaga gaya hidup agar tidak mengalami penurunan kognitif lebih cepat dari seharusnya.
Melalui wawancara dengan CNBC International, Cheng menjelaskan secara ilmiah bagaimana tiga kebiasaan yang umum dilakukan anak muda dapat merusak kesehatan otak. Ia berharap pengakuannya ini bisa menjadi peringatan dini agar banyak orang tidak mengalami penyesalan yang sama seperti dirinya.
1. Konsumsi Soda Setiap Hari: Kebiasaan Manis yang Berujung Pahit
Saat remaja, Dr. Cheng terbiasa minum satu hingga dua kaleng soda setiap hari sepulang sekolah. Ia mengaku sering menikmatinya bersama camilan manis seperti kue atau permen. Pada masa itu, kesadaran akan bahaya konsumsi gula berlebih belum sebesar sekarang. Ia pun tidak menyadari bahwa asupan gula yang tinggi bisa memicu berbagai gangguan kesehatan serius.
Kini, dengan bekal keilmuan di bidang neurologi, Cheng memahami bahwa konsumsi gula yang berlebihan dapat menyebabkan resistensi insulin, meningkatkan risiko diabetes tipe 2, memicu penyakit jantung, menimbulkan peradangan kronis, dan mempercepat penurunan fungsi otak. Bahkan, dalam jangka panjang, pola makan tinggi gula bisa memperbesar kemungkinan terkena demensia, termasuk Alzheimer.
Meski sebagian efek negatif dari konsumsi gula yang berlebihan bersifat permanen, ia menegaskan bahwa tidak ada kata terlambat untuk berubah. Mengurangi konsumsi gula secara konsisten bisa membantu memperlambat kerusakan otak dan menjaga fungsi kognitif tetap optimal.
2. Mendengarkan Musik dengan Volume Terlalu Keras
Kebiasaan kedua yang disesali Cheng adalah mendengarkan musik menggunakan earphone dengan volume sangat tinggi. Ia mengakui bahwa saat muda, ia kerap tenggelam dalam musik tanpa memedulikan volume suara. Padahal, paparan suara keras secara terus-menerus dapat merusak sel-sel rambut halus di dalam koklea (bagian telinga dalam) yang tidak dapat diperbaiki.
Kerusakan tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah, seperti gangguan pendengaran, tinitus (telinga berdenging), hingga gangguan suasana hati seperti stres, kecemasan, dan depresi. Menariknya, riset menunjukkan bahwa gangguan pendengaran juga berkaitan erat dengan penurunan fungsi otak. Otak harus bekerja ekstra untuk menangkap dan memahami suara, sehingga membuatnya lebih cepat lelah dan rentan terhadap penurunan kognitif.
Saat ini, Dr. Cheng menerapkan aturan 60/60: volume tidak melebihi 60 persen dan durasi mendengarkan tidak lebih dari 60 menit per hari. Ia juga menyarankan agar siapa pun yang mulai mengalami gangguan pendengaran segera berkonsultasi dengan dokter untuk menggunakan alat bantu dengar. Pasalnya, penggunaan alat bantu ini terbukti dapat menurunkan risiko demensia.
3. Kurang Tidur dan Sering Begadang: Kesalahan yang Terus Diulang
Tidur seringkali dianggap sepele, padahal fungsinya sangat vital bagi otak. Cheng mengaku bahwa di masa mudanya, ia kerap begadang untuk menonton televisi atau bermain video game, tanpa menyadari dampaknya. Saat menjadi dokter, pola tidurnya pun kerap terganggu karena jam kerja yang panjang dan tidak teratur.
Ia menjelaskan bahwa tidur memiliki peran krusial dalam menyatukan memori, mengatur emosi, serta membantu proses pembersihan racun dari otak. Kurang tidur kronis bisa menyebabkan penurunan volume otak dan mengganggu fungsi kognitif. Beberapa kerusakan akibat kurang tidur bahkan bisa bersifat permanen, terutama jika terjadi dalam jangka panjang.
Meskipun begitu, Dr. Cheng menekankan bahwa perubahan gaya hidup tetap bisa membawa manfaat. Memperbaiki pola tidur, seperti menjaga rutinitas tidur yang konsisten, menghindari paparan layar sebelum tidur, serta menciptakan lingkungan tidur yang nyaman, dapat membantu memulihkan sebagian fungsi kognitif yang terganggu.
Sebagai profesional medis, ia kini juga memperjuangkan pentingnya keseimbangan kerja dan istirahat dalam dunia kedokteran. Para tenaga kesehatan, yang sering mengalami kurang tidur, menurutnya harus didukung dengan kebijakan yang lebih manusiawi agar mereka bisa memberikan pelayanan terbaik tanpa mengorbankan kesehatan sendiri.