Viralnya Cokelat Batangan Dubai: Dari Dessert Eksklusif Jadi Incaran Dunia, Apa yang Membuatnya Begitu Istimewa?
Tanggal: 8 Jun 2025 18:30 wib.
Tren kuliner terus berkembang, dan kini dunia sedang dilanda demam Dubai chocolate bar, cokelat batangan khas Uni Emirat Arab yang sukses menggoda lidah serta imajinasi para pencinta makanan manis. Fenomena ini tidak hanya menjadi perbincangan di media sosial, tapi juga menginspirasi berbagai merek global untuk menciptakan versi mereka sendiri.
Awalnya, tren ini bermula secara sederhana namun inovatif. Pada tahun 2021, Sarah Hamouda, pendiri sekaligus CEO Fix Dessert Chocolatier yang berbasis di Dubai, menghadirkan kreasi unik berupa cokelat batangan yang berisi krim pistachio, tahini (saus khas Timur Tengah dari biji wijen), dan kadayif (sejenis adonan filo parut yang renyah). Meskipun awalnya hanya ditujukan untuk menghadirkan pengalaman dessert baru, kreasi ini justru meledak jadi tren global.
“Saya ingin membuat makanan penutup yang dibungkus cokelat, namun tetap tampak seperti cokelat batangan,” ujar Hamouda dalam wawancara dengan CNBC International, Selasa (3/6/2025). Ia mengaku tak menyangka jika ide sederhana tersebut akan menciptakan kegilaan internasional.
Yang awalnya hanya menerima satu atau dua pesanan dalam seminggu, Fix Dessert kini menerima puluhan pesanan setiap harinya. Lonjakan minat ini mencapai puncaknya pada Desember 2023, ketika cokelat tersebut viral di media sosial. Dalam waktu singkat, mereka menjual lebih dari 1,2 juta batang hanya dalam satu bulan dengan omzet yang fantastis: sekitar 22 juta dolar AS.
Namun ada satu ironi di balik kesuksesan luar biasa ini. Uni Emirat Arab, sebagai negara asal cokelat ini, tidak tergabung dalam perjanjian merek dagang internasional. Akibatnya, produk ini sangat mudah ditiru dan tidak dilindungi hak cipta global. Inilah yang membuka jalan bagi para produsen cokelat dari berbagai belahan dunia untuk ikut serta dalam “pesta” cokelat ala Dubai ini.
Beberapa nama besar bahkan tak ragu meluncurkan versi mereka sendiri. Lindt, perusahaan cokelat asal Swiss, telah memproduksi edisi terbatas dan kini tengah mengembangkan versi tetap dari cokelat serupa. Shake Shack turut meramaikan pasar dengan milkshake rasa cokelat Dubai, sementara Crumbl sedang menyiapkan varian brownies-nya. Tak ketinggalan, Starbucks juga mendorong kreasi menu buatan pelanggan yang terinspirasi dari tren ini, terutama karena minat dari generasi muda, khususnya Gen Z, terus meningkat.
Salah satu pionir produk tiruan di Amerika adalah Nuts Factory, toko makanan ringan yang berbasis di New York. Mereka mengklaim sebagai toko pertama yang menghadirkan replika cokelat ala Dubai di kota tersebut. Permintaan yang luar biasa membuat mereka harus membatasi pembelian hanya satu batang per orang untuk menjaga stok.
“Kami sempat kewalahan menerima pesanan. Telepon tak berhenti berdering, dan kami harus menambah mesin serta varian rasa agar bisa memenuhi permintaan,” ujar Din Allall, CEO Nuts Factory. Kini mereka mampu memproduksi ribuan batang cokelat setiap hari, membuktikan bahwa tren ini bukan sekadar musiman.
Dalam kurun waktu 18 bulan, tren ini tidak hanya bertahan, tetapi justru terus berkembang dan menjangkau pasar yang lebih luas. Bahkan Trader Joe’s, jaringan supermarket ternama di Amerika Serikat, ikut merilis versi ekonomis dari cokelat ini. Dengan harga hanya US$3,99 per batang, mereka berhasil menjangkau konsumen dari berbagai kalangan.
Meski cokelat ala Dubai ini belum masuk ke dalam menu tetap restoran besar, sinyal pertumbuhan sudah terlihat jelas. Data dari firma riset kuliner Technomic mencatat bahwa penggunaan rasa cokelat-pistachio dalam menu makanan meningkat hingga 22,3% secara tahunan pada kuartal akhir 2024. Ini menandakan bahwa selera konsumen telah mulai berubah, mengikuti tren rasa yang unik dan mewah seperti yang ditawarkan cokelat Dubai.
Kesuksesan cokelat batangan ala Dubai ini merupakan contoh nyata bagaimana kreativitas dalam industri kuliner dapat menciptakan gelombang tren global. Penggabungan rasa tradisional Timur Tengah seperti tahini dan pistachio dengan bentuk modern yang praktis dan menarik menjadi kunci kesuksesannya.
Dari sisi pemasaran, kekuatan media sosial memainkan peran besar dalam menyebarkan tren ini ke seluruh dunia. Berkat viralitas dan daya tarik visualnya yang kuat, produk ini mampu menembus pasar internasional hanya dalam hitungan bulan.
Namun, tren ini juga membuka diskusi penting tentang perlindungan kekayaan intelektual, terutama bagi negara-negara yang belum tergabung dalam perjanjian internasional. Ketika sebuah produk lokal menjadi fenomena global tanpa perlindungan hukum yang memadai, potensi kehilangan hak cipta dan nilai ekonomi pun sangat besar.
Meski demikian, antusiasme konsumen terhadap tren ini menunjukkan bahwa selera global semakin terbuka terhadap inovasi kuliner lintas budaya. Dan siapa tahu, mungkin dalam waktu dekat, kita akan menemukan lebih banyak produk khas dari berbagai penjuru dunia yang mendunia seperti halnya cokelat batangan dari Dubai ini.