Rahasia Kelam Kota Tersembunyi di Brasil: Saat Cinta Sepupu Menyebabkan Penyakit Genetik Langka yang Mengubah Sejarah Dunia Medis
Tanggal: 13 Mei 2025 21:41 wib.
Siapa sangka, di balik keindahan pedesaan Brasil yang terpencil, tersimpan kisah pilu tentang penyakit misterius akibat pernikahan antar sepupu. Di kota kecil bernama Serrinha dos Pintos, yang terletak di timur laut Brasil dan hanya dihuni oleh kurang dari 5.000 jiwa, sebuah rahasia genetika yang tak terungkap selama bertahun-tahun akhirnya terbongkar berkat penelitian seorang ahli biologi dan genetika bernama Silvana Santos.
Dilansir dari laporan BBC, Santos berhasil mengidentifikasi sindrom langka yang belum pernah tercatat sebelumnya dalam dunia medis. Sindrom tersebut kemudian dikenal dengan nama Spoan, sebuah kondisi yang disebabkan oleh mutasi genetik yang menyerang sistem saraf secara bertahap. Penyakit ini perlahan melumpuhkan tubuh dan hanya muncul jika mutasi diwariskan dari kedua orang tua—sesuatu yang sangat mungkin terjadi pada pasangan yang memiliki hubungan darah dekat, seperti sepupu.
Penemuan besar ini mengantarkan Santos meraih berbagai penghargaan, salah satunya menjadi salah satu dari 100 Perempuan Paling Berpengaruh Dunia versi BBC tahun 2024. Namun, sebelum adanya penelitian ini, warga Serrinha dos Pintos hanya bisa pasrah menyaksikan anak-anak mereka mengalami gejala aneh seperti tidak bisa berjalan, tubuh melemah, hingga kehilangan kendali atas anggota tubuh, tanpa mengetahui penyebab pastinya.
Setelah diagnosis sindrom Spoan diumumkan, kehidupan warga mulai berubah. Pengetahuan tentang penyakit ini membuat mereka lebih sadar akan pentingnya pemahaman genetika. Bantuan pun berdatangan, mulai dari dana medis hingga penyediaan kursi roda bagi para penderita. Seorang warga bernama Marquinhos mengungkapkan bahwa penelitian Santos akhirnya membawa harapan setelah sekian lama hidup dalam ketidaktahuan.
Perjalanan Santos dimulai dari São Paulo, kota metropolitan tempat ia tinggal. Tanpa diduga, sebuah percakapan santai dengan tetangganya yang berasal dari Serrinha menjadi titik awal misi besarnya. Ia mendengar cerita tentang seorang anak perempuan bernama Zirlândia, yang menunjukkan gejala tidak biasa: gerakan mata tak terkendali, tubuh lunglai, dan ketergantungan penuh pada bantuan untuk menjalani aktivitas harian.
Didorong rasa penasaran dan kepedulian, Santos memulai penyelidikan mendalam. Ia mengunjungi langsung Serrinha dos Pintos, melihat sendiri betapa umum pernikahan antar sepupu di sana. Bahkan banyak dari mereka tidak menyadari bahwa mereka masih memiliki hubungan darah. Sebagian besar percaya bahwa menikah dengan kerabat mempererat ikatan keluarga.
Namun, dari sudut pandang medis, praktik ini sangat berisiko. Menurut Luzivan Costa Reis, seorang ahli genetika dari Universitas Federal Rio Grande do Sul, pernikahan sesama kerabat meningkatkan kemungkinan kelainan genetik pada anak hingga dua kali lipat, dari 3% menjadi 5–6%.
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa lebih dari 30% pasangan di Serrinha dos Pintos adalah kerabat dekat, dan sepertiganya memiliki anak dengan disabilitas.
Perjalanan riset Santos tak mudah. Ia menempuh ribuan kilometer, mengetuk pintu demi pintu, berdialog dengan warga, minum kopi bersama mereka sambil mengumpulkan sampel DNA. Rencana awal hanya tiga bulan berubah menjadi dedikasi seumur hidup.
Pada tahun 2005, hasil penelitiannya resmi diakui dunia medis. Mutasi penyebab Spoan diduga telah ada sejak lebih dari 500 tahun lalu, dibawa oleh pemukim awal dari Eropa, seperti Portugis dan Yahudi Sephardic. Penemuan kasus serupa di Mesir memperkuat teori bahwa mutasi ini berasal dari wilayah Semenanjung Iberia, dan kemungkinan dibawa oleh orang-orang Yahudi atau Moor yang melarikan diri dari Inkuisisi.
Meski hingga kini belum ditemukan obatnya, pemahaman tentang Spoan telah memberikan kehidupan yang lebih baik bagi penderitanya. Anak-anak yang dulu hanya terbaring kini bisa lebih mandiri dengan bantuan alat bantu gerak. Istilah "cacat" mulai tergantikan dengan sebutan "pengidap Spoan", membawa pergeseran pandangan yang lebih manusiawi dan inklusif.
Namun, kenyataan tetap berat. Penyakit ini terus berkembang seiring bertambahnya usia. Beberapa penderita yang kini telah berusia lanjut, seperti Chiquinho yang berusia 59 tahun, telah kehilangan kemampuan bicara sepenuhnya. Adiknya, Marquinhos, juga mengalami keterbatasan komunikasi. Ibu mereka, Inés, yang juga menikah dengan sepupunya, mengungkapkan betapa sulitnya merawat anak-anak dengan kebutuhan khusus. Ia berkata, “Kami mencintai mereka tanpa syarat, tapi penderitaan mereka juga menjadi beban kami.”
Kini, Santos tak hanya berfokus pada penelitian, tapi juga pada pencegahan. Bersama Kementerian Kesehatan Brasil, ia memimpin program skrining genetik terhadap 5.000 pasangan. Tujuannya bukan melarang pernikahan, melainkan memberi pengetahuan agar masyarakat bisa membuat keputusan sadar tentang risiko genetika.
Santos, kini menjabat sebagai profesor, masih rutin mengunjungi Serrinha. Bagi warga, ia bukan lagi sekadar ilmuwan—tapi bagian dari keluarga mereka.
“Silvana Santos adalah malaikat bagi kami,” ungkap Inés penuh rasa terima kasih. Penelitiannya tak hanya membuka mata dunia medis, tetapi juga memberi harapan baru bagi komunitas kecil yang dulu hidup dalam ketidakpastian.