Sumber foto: Google

Menggandeng Diaspora, Bagaimana Anies Baswedan Memperkuat Peran Warga Indonesia di Luar Negeri

Tanggal: 10 Nov 2025 20:50 wib.
Dalam era globalisasi yang makin maju, peran diaspora warga negara Indonesia yang tinggal, bekerja, atau belajar di luar negeri semakin strategis bagi bangsa dan negara. Tidak sekadar menyumbang remitansi atau menjaga hubungan sosial dengan kampung halaman, diaspora Indonesia kini punya potensi besar sebagai “duta bangsa” yang memperkuat posisi Indonesia dalam kancah global. Sosok Anies Baswedan muncul sebagai salah satu tokoh yang aktif mendorong kesadaran ini. Artikel ini mengeksplorasi bagaimana Anies memperkuat peran diaspora Indonesia pada tahun 2025 melalui beberapa langkah konkrit dan gagasan visioner.

Anies menunjukkan pandangan yang cukup progresif ketika menyebut bahwa banyak warga Indonesia yang berada di luar negeri bukanlah “meninggalkan Indonesia”, melainkan sebaliknya: membawa Indonesia ke dunia. Dalam cuitannya di media sosial pada Februari 2025, ia menyatakan:

“Mereka bukan meninggalkan Indonesia, tapi mereka justru membawa serta dan menghadirkan Indonesia ke hadapan dunia. Mereka adalah duta bangsa yang diangkat bukan lewat surat keputusan, tapi lewat dedikasi dan kerja keras.”
Dengan ungkapan ini, Anies mencoba mengubah paradigma diaspora dari sekadar “orang jauh” menjadi para aktor strategis dalam diplomasi budaya, ilmu pengetahuan, dan jaringan global.

Gagasan tersebut penting karena seringkali diaspora dipandang sebagai “lepas” dari kampung halaman. Namun Anies menunjukkan bahwa justru melalui diaspora, nama bangsa bisa lebih dikenal, citra budaya bisa menguat, dan jaringan internasional bisa diperluas. Ia mengajak untuk tidak meragukan nasionalisme diaspora: “Tak perlu ragukan nasionalisme mereka.”

Gagasan Anies ini tidak hanya berhenti pada retorika. Pada Februari 2025, ia melakukan kunjungan ke Qatar dan Yordania untuk berdiskusi dengan para diaspora Indonesia di kawasan Timur Tengah. Dalam kegiatan tersebut, ia tidak hanya hadir sebagai tamu, melainkan sebagai fasilitator untuk memperkuat jejaring antara diaspora dan kampung halaman. Dalam wawancaranya di Taiwan pada Juni 2025, Anies juga menekankan bahwa bidang pendidikan, riset, budaya, dan pariwisata adalah “ruang” bagi kolaborasi masyarakat Indonesia dengan warga negara lain yang juga membuka peluang bagi diaspora.

Melalui kunjungan dan dialog langsung ini, beberapa hal terwujud:
pertama, memberikan pengakuan dan perhatian kepada diaspora Indonesia sebagai bagian dari bangsa, bukan sekadar warga negara yang “tinggal di luar”; kedua, menjalin kerja sama lintas negara melalui diaspora sebagai penghubung; dan ketiga, mendorong diaspora untuk membangun jejaring global yang berdampak positif bagi Indonesia.

Dalam pertemuan dengan pelajar Indonesia di Belanda pada Oktober 2025, Anies memberikan pesan tegas: jangan hanya bergaul dengan sesama orang Indonesia di luar negeri. Ia menantang mereka untuk memiliki teman dan jaringan internasional yang lebih luas. Ia bahkan menyarankan mahasiswa untuk membuat dua kolom daftar teman: satu dengan sesama Indonesia, satu lagi dengan non-Indonesia, lalu membandingkan jumlahnya. Ini bukan sekadar soal pertemanan, tetapi soal membangun modal sosial yang bisa memperkuat posisi Indonesia di dunia internasional.

Langkah ini punya makna strategis: diaspora yang terhubung dengan jaringan global akan bisa membawa pulang ide, teknologi, kerja sama, dan bahkan investasi. Dengan demikian, keberadaan mereka di luar negeri menjadi “aset” nasional, bukan sekadar “pemenuhan kebutuhan individu”.

Dengan mendorong peran diaspora seperti ini, terdapat beberapa manfaat nyata yang dapat diraih Indonesia. Pertama, penguatan soft power kehadiran banyak warga Indonesia yang sukses di luar negeri, aktif dalam riset, budaya, dan industri global, bisa meningkatkan citra Indonesia di mata dunia. Anies menyebut bahwa meskipun Indonesia adalah bangsa besar, namanya belum sering disebut dalam diskusi global. 

Kedua, kolaborasi lintas negara melalui jejaring diaspora, Indonesia bisa menjalin kerja sama riset, pendidikan, dan bisnis dengan negara lain. Contohnya, Anies menekankan peluang di Taiwan untuk pelajar Indonesia dalam teknologi dan semikonduktor. Ketiga, reputasi dan kebanggaan nasional ketika diaspora Indonesia berhasil dan mengangkat nama Indonesia, itu menciptakan kebanggaan nasional dan memperkuat ikatan diaspora dengan kampung halaman, sekaligus meminimalisir stigma “melupakan asal”.

Tentu saja, mendorong peran diaspora bukan tanpa tantangan. Karena Anies sendiri saat ini tidak memegang jabatan resmi kenegaraan, peran yang ia lakukan lebih ke arah gagasan, advokasi, dan networking sehingga skalanya terbatas. Keterhubungan diaspora dengan kampung halaman juga memerlukan mekanisme yang lebih sistematis: jejaring alumni, program rematriasi ide, investasi balik ke Indonesia, dan sebagainya. Gagasan Anies mengenai hal ini cukup inspiratif, namun eksekusi dan skala besar masih menjadi pekerjaan rumah. Selain itu, diperlukan pula pendekatan yang inklusif agar semua segmen diaspora merasa terlibat, bukan hanya kelompok elit atau terdidik saja.

Pada tahun 2025, Anies Baswedan tampak makin aktif mengusung gagasan dan aksi nyata untuk memperkuat peran diaspora Indonesia. Dari kunjungan ke Qatar dan Yordania, dialog dengan pelajar di Belanda, hingga wawancara tentang kolaborasi pendidikan di Taiwan, langkahnya memperlihatkan bagaimana diaspora bukan sekadar “orang Indonesia di luar negeri”, melainkan bagian integral dari strategi global Indonesia. Dengan mengambil peran sebagai “duta bangsa” melalui dedikasi dan kerja keras tidak menunggu surat keputusan diaspora bisa menjadi agen perubahan, jejaring global, dan penguat reputasi Indonesia.

Bila gagasan dan momentum ini terus dipupuk baik oleh individu seperti Anies, maupun oleh institusi pemerintah dan masyarakat maka Indonesia memiliki peluang besar untuk memaksimalkan kekuatan diaspora dalam ranah global: memperkuat soft power, menarik kolaborasi, dan menghubungkan kampung halaman dengan dunia.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved