Sumber foto: Instagram/ @mahlilham_

Manusia Sebagai Makhluk Ber-Privilege: Lanjutan Tafsir Makna Nasehat Aneh Bapak

Tanggal: 14 Feb 2025 21:53 wib.
Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, menyisakan semburat jingga yang indah di langit. Angin sore berhembus pelan, membawa kesejukan ke teras rumah tempat Bapak dan Aku duduk berdampingan.

"Pak, aku merasa hidup ini tidak adil," ucapku, dengan penuh keluhan.

Bapak menoleh, mengangkat alisnya. "Kenapa begitu, Nak?"

Aku menghela napas. "Ada orang yang terlahir kaya, ada yang pintar sejak lahir, ada yang hidupnya enak tanpa usah usaha. Sementara yang lain harus berjuang mati-matian mengantre hanya untuk sebuah Gas LPG. Rasanya seperti dunia ini tidak memberikan kesempatan yang sama untuk semua orang."

Bapak tersenyum tipis. Ia meraih cangkir tehnya, menyesapnya perlahan sebelum berkata, "Kamu merasa manusia tidak diberi kesempatan yang sama?"

Aku mengangguk. "Iya, Pak. Bukankah hidup itu seharusnya adil?‘

Bapak menatap langit senja. "Nak, kamu tahu? Manusia itu sebenarnya makhluk yang punya privilege terbesar dibanding makhluk lain."

Aku mengernyit. "Privilege? Maksudnya kaya raya, punya bapak seorang presiden, punya paman seorang hakim, dan punya akses ke segala hal?"

Sang ayah menggeleng. "Bukan itu. Privilege terbesar manusia bukan pada harta atau status sosial, tapi pada apa yang Allah berikan sejak kita lahir—akal, hati, dan tubuh yang bisa bergerak untuk berbuat sesuatu."

Ia kemudian melanjutkan dengan suara yang lebih dalam. "Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

'Dan sungguh, telah Kami muliakan anak cucu Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang telah Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.' (QS. Al-Isra’: 70)

Itu artinya, setiap manusia punya modal dasar untuk menjalani hidup dengan baik. Kita bisa berpikir, memahami, memilih, dan berusaha. Itu privilege yang tidak dimiliki makhluk lain."

Seketika Aku terdiam, mencoba mencerna perkataan Bapak. "Tapi, Pak, kalau semua manusia punya privilege itu, kenapa masih ada yang hidupnya berantakan dan merugikan orang banyak ?"

Bapak tersenyum lagi, kali ini dengan tatapan lebih tajam. "Karena tidak semua orang menggunakan privilege-nya dengan baik. Ada yang punya akal tapi malas berpikir. Ada yang diberi ilmu tapi enggan belajar. Ada yang bisa memilih tapi tetap memilih keburukan. Mereka mengabaikan apa yang sudah Allah berikan, dan akhirnya jatuh lebih rendah dari makhluk lain.

Allah bahkan memperingatkan dalam Al-Qur’an: 'Mereka itu seperti hewan ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.' (QS. Al-A’raf: 179)

Hewan bertindak berdasarkan naluri. Tapi manusia punya kebebasan berpikir dan memilih. Jika manusia mengabaikan itu, apa bedanya dengan hewan? Bahkan bisa lebih buruk dan hina."

Aku menunduk. Kata-kata bapak menusuk hatiku.

"Jadi... sebenarnya hidup ini adil," gumamku pelan. "Hanya saja manusia sendiri yang menentukan apakah mau memanfaatkan privilege itu atau tidak?

Bapak mengangguk mantap. "Benar, Nak. Privilege yang tidak digunakan dengan baik bukan lagi keistimewaan, tapi beban yang harus dipertanggung jawabkan. Allah memuliakan kita, tapi kita sendiri yang menentukan apakah kita tetap mulia atau justru terhina."

Aku menarik napas dalam, lalu menatap bapak dengan lebih yakin. "Aku mengerti sekarang, Pak. Aku akan berusaha menggunakan privilege-ku dengan baik."

Bapak tersenyum puas. Ia menepuk bahuku. "Bagus. Karena hidup ini bukan soal apa yang kita dapat seperti jabatan, harta, dan lain sebagainya. tapi tentang bagaimana cara kita menggunakannya.

Harta yang melimpah tidak seharusnya membuatmu menjadi orang yang angkuh dan semena-mena, begitupun dengan jabatan yang tinggi tidak akan membuatmu hilang akal budi.

Nak teruslah belajar dan berjuang dengan jujur. Bapak sudah lelah dengan negeri ini dimana keculasan , ketidakadilan dan tak tahu malu menjadi barang yang paling laris. "

“Tapi Pak, kenapa ketidakdilan itu tetap terjadi meski manusia dilahirkan dengan potensi dan privilege yang sama?” tanyaku kembali.

“ Menurut Amartya Sen, seorang ekonom dan penerima Hadiah Nobel Ekonomi, memberikan perspektif berbeda melalui pendekatannya yang berfokus pada kemampuan (capability approach). Sen menilai ketidakadilan sosial berdasarkan kemampuan individu untuk menjalani kehidupan yang mereka anggap berharga, bukan hanya dari segi distribusi pendapatan atau kekayaan.

Menurut Sen, ketidakadilan sosial terjadi ketika individu tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mencapai kesejahteraan dan potensi mereka secara maksimal. Misalnya, akses yang terbatas terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja dapat menghambat kemampuan seseorang untuk menjalani kehidupan yang penuh dan produktif. Dengan pendekatan ini, Sen menyoroti pentingnya memperbaiki kapasitas individu untuk mengurangi ketidakadilan secara lebih holistik. “ Jawab Bapak dengan singkat.

“Jadi hidup ini adil, hanya saja manusia sendiri yang membuat semuanya menjadi tidak adil, ya pak? “ aku berusaha menyimpulkannya.

“ Nah betul sekali Nak, Bapak bangga padamu, nanti kamu jadi presiden aja, Bapak do’akan”. Bapak tertawa hangat sembari mengajakku masuk ke dalam rumah karena masakan ibu telah sedia untuk disantap.

Senja pun menghilang, menyisakan langit gelap yang perlahan mulai diterangi bintang-bintang.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved