Kisah Letnan Jendral S.Parman korban G20S/PKI yang Ternyata Adik Petinggi PKI
Tanggal: 24 Sep 2017 17:33 wib.
Tampang.com- Apabila kita melihat sejarah kebelakang, ditahun 1980-1990 mungkin yang umur pada saat ini menjadi pelajar sekolah SD,SMP,SMA masih ingat akan pelajaran PSPB, dan sekarang mereka telah menjadi orang tua. Pada tahun itu semua pelajar setiap tahunnya diwajibkan menontopemutaran Film G20S/PKI yang serentak di putar di seluruh gedung bioskop di Indonesia.
Masih ingat akan ketakutan akan kekejaman G20S/PKI, yang diputar dalam filmnya. Mungkin sampai dengan saat ini masih menyimpan kisah tersendiri buat yang menontonnya, bahkan ada juga yang tidak berani melihat sampai dengan saat ini karena takut akan kekejian yang di ceritakan dalam film tersebut.
Seperti kita ketahui bahwa korban dalam G30S/PKI, semua terdapat para petinggi dari angkatan darat yang menjabat pada saat itu. Seperti Siswondo Parman menjabat sebagai staf jenderal Angkatan Darat urusan Intelijen.
S. Parman awalnya sekolah kedokteran, periode pendudukan Jepang mendekatkannya pada dunia militer.Kendati menjadi korban Gerakan 30 September, Parman punya kakak yang justru orang PKI: Sakirman.
Siswondo Parman adalah lulusan AMS B di Yogyakarta dan pernah belajar di sekolah kedokteran Geneeskundige Hogeschool (GHS) Jakarta. Sekolah-sekolah itu bisa dia nikmati karena dia memang anak orang berada. Pemuda terpelajar sepertinya, di zaman normal Hindia Belanda, tentu diramalkan akan mapan. Namun, pendudukan Jepang membuat Parman menjauh dari profesi dokter.
Pada (1918-1965) S.Parman masuk menjadi Kempeiho untuk belajar dari Kempeitai. Ketika masih berpangkat Mayor di CPM pada awal 1950, di sekitar Bandung Jakarta terjadi pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil pimpinan Westerling“Sultan Hamid II pada tanggal 5 April 1950 di tangkap oleh Major CPM S. Parman.”
Setelah di CPM, dia ditugaskan ke Kementerian Pertahanan dan pernah dikirim ke London sebagai Atase Militer. Setelah Ahmad Yani menjadi orang nomor satu di Angkatan Darat dengan posisi sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad), Parman dijadikan Asisten I/intelijen.
Lingkaran Letnan Jenderal Ahmad Yani memang berisikan orang-orang anti-komunis. Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah lawan politik utama mereka. Di zaman Abdul Haris Nasution menjadi Kepala Staf Angkatan Darat, menurut Ulf Sundhaussen, dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967 (1986), Parman jadi salah satu pendukung Nasution. Dia terlibat dalam Peristiwa 17 Oktober 1952 pula.
Meski dalam lingkaran jenderal-jenderal anti-PKI, suka tidak suka, Parman yang posisinya mirip kepala intel bagi Angkatan Darat itu, punya kakak kandung yang justru jadi anggota Politbiro PKI: Ir Sakirman. Ini adalah relasi paling aneh yang ditemui Ben Anderson muda dalam kerja lapangannya di Indonesia jelang 1965.
Sang kakak, yaitu Sakirman, menurut Ben, “Dulu memimpin laskar rakyat bersenjata sayap kiri di Jawa Tengah semasa revolusi.” Bagi Ben, laki-laki bertubuh bulat dan pendek itu, sempat menaruh curiga padanya, ternyata sosok yang hangat dan penuh cerita. Parman, menurut Ben lagi, “mirip banget dengan kakaknya, tapi pandangannya (dalam ideologinya) berbeda jauh.”
Hidup Parman berakhir dalam Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Pasukan penculik Pasopati mengambilnya dari rumahnya di bilangan Menteng dan membawanya ke kawasan Lubang Buaya. Bersama jenderal-jenderal lain: Yani, Pandjaitan, Harjono, Suprapto dan Sutojo. Di sana ia ditembak pada Subuh 1 Oktober dinihari.
Jenazahnya baru diketemukan beberapa hari setelahnya. Jenazahnya dimakamkan tepat di hari ulang tahun TNI ke-20, 5 Oktober 1965, di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Pangkat Parman, yang semula Mayor Jenderal, juga dinaikkan satu tingkat setelah kematiannya menjadi Letnan Jenderal.