Berharap Jokowi Benar-Benar Seperti Petruk

Tanggal: 24 Jul 2017 10:26 wib.
Lakon “Petruk Dadi Ratu” sering berseliweran lebih dari setahun belakangan ini. Lakon ini dipakai untuk mengolok-olok sejak Jokowi masih belum dicapreskan. Kata para pengolok-olok, sama seperti Petruk, Jokowi tidak layak menjadi orang nomor satu karena tidak mempunyai bekal. Akibatnya kondisi negara jadi berantakan tidak karuan.

Kalau mikirnya lurus-lurus saja, “Petruk Dadi Ratu” memang menceritakan tentang ketidakbecusan Petruk dalam memimpin kerajaannya. Akibatnya, negara jadi morat-marit. Konflik terjadi di sana-sini. Rakyat jadi menderita.

Tapi, kalau melihat lakon ini dari sisi lain, maka akan muncul pesan-pesan adiluhung yang disampaikan oleh pencipta lakon carangan ini.

“Petruk Dadi Ratu” ini kisang carangan buah karya Sunan Kalijaga. Sebagaimana karya Sunan Kalijaga lainnya, seperti lakon “Dewa Ruci” dan tembang “Lir Ilir”, “Petruk Dadi Ratu” memiliki kedalaman makna filosofis yang diungkapkan dalam berbagai simbol. Jadi, mirip-mirip karya-karya Leonardo da Vinci.

Sunan Kalijaga menggambarkan situasi jagad mayapada yang morat-marit. Persis situasi Indonesia pada saat ini. Korupsi meraja lela. Mafia ada di mana-mana, dari migas, sapi, sampai garam. Kapal-kapal asing pencuri ikan dibiarkan berkeliaran tiap malam. Bongkar muat di pelabuhan diperlambat. Urusan birokrasi tidak jelas lagi alurnya.

Bahkan banyak yang mengatakan, kalau sejak masa reformasi, uang sogokan tidak lagi berpindah di kolong meja, tapi sudah dengan meja-mejanya berpindah. Karuan saja semua itu menyengsarakan rakyat. Wakil rakyat yang seharusnya bekerja untuk rakyat malah jadi orang suruhan  pengusaha kaya. Lebih lagi para wakil rakyat itu bersorak girang mendukung bakal calon presiden negara lain.

Sunan Kalijaga menggambarkan situasi kesemrawutan mayapada dengan sakitnya Abimanyu. Anak Arjuna yang bakal meneruskan tahta kerajaan Astinapura ini menderita sakit hingga melumpuhkannya. Kelumpuhan Abimanyu sebagai simbol lumpuhnya negara. Karena sakit, maka ketiga wahyu “kekuasaan” yang bersemayam di dalam tubuhnya keluar.

Ketiga wahyu yang keluar dari itu kemudian masuk ke dalam tubuh Petruk yang hanya seorang rakyat jelata, punakawan yang meladeni Arjuna. Inilah simbol ditariknya kembali mandat dari penguasa oleh rakyatnya sendiri. Petruk kemudian menjadi raja di negara yang dinamainya Lojitengara. Ia menggelari dirinya Prabu Wel-Geduwel Beh.  

Kenapa ketiga wahyu itu memilih rakyat jelata seperti Petruk? Kenapa bukan Antasena? Kenapa bukan Wisanggeni? Bukan Ibas. Bukan Puan. Apalagi Fahri Hamzah.

Di sinilah kejelian Sunan Kalijaga dalam memilih tokoh utama dalam kisahnya. Dalam lakon “Petruk Dadi Ratu”, Petruk dipilih karena karakter-karakter yang dimilikinya. Petruk adalah punakawan atau hamba sahaya yang realistis dalam menyikapi segala sesuatunya.

Selain itu putra angkat Semar ini pun memiliki keikhlasan. Karena keikhlasannya, Petruk juga dinamai Kanthong Bolong atau Kantong Berlubang. Jadi, menurut Sunan Kalijaga, hanya orang yang ikhlas dan realistislah yang sanggup memperbaiki keadaan. .

Sebagai rakyat, Petruk biasanya cuma bisa tertawa geli melihat tingkah polah kaum bangsawan di sekelilingnya. Kadang, sekalipun Petruk memahami persoalan yang dihadapi ndoro-nya, kalau ditanya ia hanya menjawab, “Bukan urusan saya.” Hal ini diucapkan Petruk untuk menghargai ndoro-nya. Hanya sesekali Petruk mengeluarkan sentilannya kepada ndoro-ndoronya

Padahal dengan kesaktian yang dimilikinya, bisa saja Petruk menghajar orang-orang yang dianggapnya bertanggung jawab atas kesemrawutan di kerajaannya. Jangankan Arjuna atau Pandawa lainnya, Kresna yang titisan Wisnu saja pernah bonyok-bonyok dihajar Petruk. Tapi, Petruk sadar benar, ia tidak memiliki wahyu atau mandat untuk memimpin. Karenanya ia hanya melakoni apa saja yang bisa dikerjakannya.

Tapi, begitu ia mendapat mandat, eng ing eng, semua dihajarnya. Para ndoro yang dulu main perintah, sekarang diperintahnya. Kemapanan para ndoro diobrak-abriknya, dijungkirbalikkannya. Tindakan Petruk yang mengobrak-abrik kemapanan para mafia ini membuat resah raja-raja pem-backing-nya. Sampai-sampai Junggring Saloka pun terimbas. Kawah Candradimuka mendidih perlambang adanya “ontran-ontran” yang membahayakan kekuasaan para dewa.

Sontak Petruk menjadi musuh bersama para elit. Kemudian, para elit ini berunding. Lahirlah skenario untuk memakzulkan Petruk dari kekuasaannya. Lewat lini masa, segala tindakan Petruk wajib dianggap salah. Kesalahan kecil dibesar-besarkan. Apa saja harus dikaitkan dengan Petruk, termasuk badai di Arab yang menyebabkan ambruknya crane. Petruk sudah seperti Teh Botol Sosro. Apapun peristiwanya dan di mana poun kejadiannya, Petruk yang disalahkan. Sebaliknya, keberhasilan Petruk malah ditutup-tutup dipandang seolah tidak pernah terjadi.

Sayangnya usaha ini gagal total. Petruk malah semakin menjadi-jadi melabrak siapa pun yang dianggapnya sebagai biang kerok. Kresna dan Baladewa dikepret sampai babak belur. Batara Guru sang penguasa kahyangan ngiprit terbirit-birit.

Di situlah perbedaan sudut pandang “penonton” dalam menyerap pesan yang terkandung dalam lakon “Petruk Dadi Ratu”. Bagi yang memposisikan diri sebagai kaum elit, Petruk dianggap sebagai monster yang harus dibinasakan. Sebaliknya, jika memandang Petruk dengan kacamata kawulo alit yang gerah dengan perilaku kaum elit, Petruk justru dipandang sebagai pahlawan. Tindakannya diapresiasi. Petruk is the new hope.

Wayang, mau tidak mau, berasal dari India. Suatu bangsa yang mengenalkan sistem kasta pada dunia. Aslinya, mulai dari “A” sampai “Z” wayang berkisah tentang kasta ksatria di mana kita diajak memasuki dunia yang serba hebat, gemerlap, dan wah, tetapi dipenuhi intrik. Kemudian, lahirlah lakon carangan “Petruk Dadi Ratu”. Di sini kita diajak memposisikan diri sebagai rakyat jelata.

Ternyata, ketika posisi kita bergeser dari “ksatria” ke “kawula”, semuanya terlihat jungkir balik. Contohnya, ada mantan pembesar negara yang mengatakan, 70 persen pembakaran hutan karena kesengajaan. Padahal waktu masih menjabat tidak pernah mengungkapkan hal itu.

Setelah revolusi  berhasil dituntaskan, Petruk pun kembali menjadi kawulo alit, rakyat jelata. Ia kembali mengayunkan kapaknya membelah kayu bakar. Sambil bersenandung tembang pangkur: Mungkin kalau Petruk hidup di zaman modern ia tidak akan mencari kayu bakar karena sudah ada tabung gas. Tapi, ia akan kembali menekuni profesinya sebagai tukang mebel sambil melantunkan lagu-lagu metal.

Ada kisah menarik lainnya tentang Petruk. Petruklah yang  dikisahkah menggotong jenazah Abimanyu yang gugur dalam perang Baratayudha. Petruk jugalah yang memandikan serta mengkremasi jenazah Abimanyu.

Di sini menyimbolkan, kalau rakyat tetap ada sekalipun raja telah meninggalkannya. Kedudukan raja sangat tergantung pada rakyatnya. Dan, sampai di akherat pun raja masih menggantungkan diri kepada rakyatnya. Kawula iku ana tanpa wates, ratu kuwi anane mung winates (rakyat itu ada tanpa batas, sedangkan raja itu ada secara terbatas)".

Jadi, bagi yang mengolok-olok Jokowi seperti Petruk dalam lakon “Petruk Dadi Ratu”, seharusnya berharap kalau Jokowi benar-benar berbuat seperti Petruk saat menjadi raja. 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved