Sumber foto: iStock

5 Penyesalan Terbesar Menjelang Ajal: Apa Kamu Sedang Menjalani Hidup Orang Lain?

Tanggal: 1 Jun 2025 09:24 wib.
Tampang.com | Banyak orang tak menyadari betapa berharganya hidup hingga mereka berada di ambang kematian. Di saat-saat terakhir itulah, penyesalan bermunculan—bukan karena hal-hal besar seperti kegagalan bisnis atau kekayaan yang belum terkumpul, melainkan karena kehidupan yang tak sempat dijalani dengan jujur dan penuh makna.

Bronnie Ware, seorang mantan perawat paliatif asal Australia, menghabiskan delapan tahun merawat pasien-pasien dalam kondisi kritis yang berada di penghujung hidup mereka. Dari pengalamannya tersebut, ia menyusun buku berjudul The Top Five Regrets of the Dying, yang menjadi refleksi menyentuh tentang apa yang sebenarnya penting dalam hidup—dan apa saja yang paling sering disesali saat waktu sudah hampir habis.

Melalui kisah para pasiennya, Bronnie menemukan pola penyesalan yang hampir serupa: mereka tidak menjalani hidup sesuai keinginan sendiri. Sebaliknya, banyak yang justru hidup menurut ekspektasi orang tua, pasangan, bahkan masyarakat, tanpa sempat mengejar impian pribadi.

1. “Andai aku berani menjalani hidupku sendiri, bukan hidup yang diinginkan orang lain.”

Ini adalah penyesalan paling umum yang diungkapkan oleh banyak orang menjelang kematian. Terlalu banyak yang menjalani kehidupan demi memenuhi harapan orang lain—memilih jurusan kuliah yang disukai orang tua, bekerja di tempat yang dianggap "aman", atau menikah demi norma, bukan cinta.

Sering kali, suara hati dikubur dalam-dalam karena takut mengecewakan orang lain. Sayangnya, kesadaran bahwa waktu sudah habis baru datang ketika tubuh tak lagi mampu mengejar impian itu.

2. “Andai aku tidak terlalu sibuk bekerja.”

Pekerjaan memang penting, tapi hidup bukan semata-mata tentang karier. Banyak orang yang menyesal telah mengorbankan waktu berharga bersama keluarga dan sahabat demi pekerjaan yang tak ada habisnya. Waktu tidak bisa diputar kembali, dan seringkali saat kita ingin memperbaiki semuanya, kesempatan itu sudah tak ada.

Survei Harris Poll terhadap 1.170 pekerja di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa 78% dari mereka mengorbankan waktu libur untuk bekerja. Angka ini menunjukkan bahwa dominasi pekerjaan dalam hidup bisa menggerus waktu istirahat, mengganggu kesehatan mental, dan merusak hubungan pribadi.

Bill Gates, pendiri Microsoft, pernah mengaku bahwa ia dulu menghabiskan seluruh waktunya untuk bekerja. Ia bahkan tidak mempercayai akhir pekan atau liburan. Namun, setelah menjadi seorang ayah, ia mulai sadar pentingnya keseimbangan hidup.

“Luangkan waktu untuk membina hubungan. Rayakan pencapaian Anda. Pulihlah saat mengalami kegagalan. Istirahatlah saat dibutuhkan, dan hadir untuk orang lain saat mereka membutuhkan Anda,” ucapnya dalam pidato wisuda di Northern Arizona University.

3. “Andai aku berani mengungkapkan perasaanku.”

Ketakutan untuk jujur pada diri sendiri sering kali melahirkan penyesalan dalam. Entah karena takut ditolak, takut kehilangan, atau takut menyakiti orang lain, banyak yang memilih diam dan menahan perasaan. Akibatnya, hubungan yang seharusnya bisa tumbuh subur justru berakhir hambar atau bahkan hancur.

Emosi yang dipendam terlalu lama juga berdampak buruk bagi kesehatan mental. Mampu mengekspresikan perasaan dengan jujur bukan hanya memberi ruang untuk lebih bahagia, tapi juga membuka pintu bagi hubungan yang lebih sehat dan autentik.

4. “Andai aku tidak kehilangan hubungan dengan sahabat-sahabatku.”

Seiring bertambahnya usia, banyak orang kehilangan koneksi dengan teman lama karena kesibukan, prioritas yang berubah, atau jarak geografis. Saat seseorang menghadapi akhir hidupnya, nilai dari persahabatan menjadi sangat jelas—bukan hanya soal nostalgia, tapi juga tentang kehadiran yang tulus dan dukungan emosional.

Sayangnya, penyesalan sering muncul ketika sudah terlambat untuk menjalin kembali hubungan itu. Persahabatan sejati adalah harta yang tak ternilai dan sering kali baru terasa penting ketika kita sudah tak bisa kembali.

5. “Andai aku membiarkan diriku lebih bahagia.”

Terlalu banyak orang merasa tidak pantas untuk bahagia. Mereka dibebani standar sosial, rasa bersalah, atau ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap diri sendiri. Akibatnya, mereka menunda kebahagiaan, menahan tawa, dan memaksakan diri untuk tetap serius.

Padahal, kebahagiaan bukanlah hadiah dari pencapaian besar. Ia hadir dari hal-hal kecil: menikmati matahari pagi, tertawa lepas dengan sahabat, atau sekadar beristirahat tanpa rasa bersalah. Sayangnya, kesadaran ini kerap datang ketika waktu yang tersisa sudah sangat terbatas.

Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Penyesalan Ini?

Kelima penyesalan yang sering diungkapkan oleh orang-orang yang menghadapi kematian bukanlah cerita menyedihkan semata. Mereka adalah peringatan berharga bahwa hidup terlalu singkat untuk dijalani dalam penyesalan.

Kita bisa belajar untuk lebih berani menjalani hidup sesuai nilai dan impian pribadi. Menyeimbangkan pekerjaan dengan waktu pribadi, jujur dalam menyampaikan perasaan, menjaga hubungan sosial, dan merayakan kebahagiaan tanpa rasa bersalah adalah cara nyata untuk mencegah penyesalan di masa depan.

Mungkin saat ini kamu masih punya banyak waktu. Tapi jangan menunggu sampai hidup memaksamu berhenti untuk menyadari apa yang sebenarnya penting. Lakukan refleksi sejak dini, ambil keputusan dengan sadar, dan berani katakan: “Aku hidup sebagai diriku sendiri.”
Copyright © Tampang.com
All rights reserved