Wanita di Politik: Tantangan menjadi Pemimpin di Amerika Serikat
Tanggal: 22 Jul 2024 22:22 wib.
Amerika Serikat (AS) memiliki potensi untuk kembali mendapatkan seorang perempuan sebagai kandidat calon presiden, setelah Hillary Clinton, yang menjadi calon presiden AS pertama pada tahun pemilu 2016. Peluang ini muncul setelah petahana Joe Biden mundur sebagai kandidat dalam pemilihan presiden (pilpres) yang dijadwalkan pada November mendatang. Wakil Presiden Kamala Harris disebut-sebut sebagai alternatif utama untuk menggantikan posisi Biden dari kursi capres AS dari partai Demokrat.
Biden sendiri telah menyatakan dukungannya untuk Kamala Harris. Selain Kamala, terdapat pula nama-nama kandidat lainnya seperti gubernur Demokrat seperti Gavin Newsom dari California, Gretchen Whitmer dari Michigan, dan Josh Shapiro dari Pennsylvania. Nama-nama tersebut dianggap kuat untuk bersaing dalam konvensi di Chicago pada 19-22 Agustus 2024. Dari beberapa nama tersebut, perempuan seperti Kamala dan Gretchen memiliki peluang besar untuk maju dari Partai Demokrat pada pilpres November mendatang.
Kamala Harris adalah wanita pertama orang kulit hitam atau orang keturunan Asia Selatan yang menduduki jabatan wakil presiden. Jika Kamala menjadi calon dari Partai Demokrat dan berhasil mengalahkan kandidat Partai Republik Donald Trump pada bulan November, ia akan menjadi wanita pertama yang menjabat sebagai presiden AS.
Sementara Gretchen saat ini menjabat sebagai Gubernur Michigan. Dia seorang wanita berusia 57 tahun yang sebelumnya adalah seorang pengacara, pendidik, mantan jaksa, Anggota DPR dan Senator Negara Bagian. Namun, perjalanan politik Kamala atau Gretchen bisa terbentur oleh fakta bahwa sejarah AS yang berusia 248 tahun tidak pernah memiliki presiden perempuan.
Setelah pengalaman Hillary Clinton selama pemilihan umum 2016, nampaknya mayoritas warga AS tidak begitu mendukung gagasan memiliki presiden perempuan, setidaknya selama masa hidup mereka. Studi Pew Research baru menemukan bahwa hanya sejumlah kecil warga AS yang menyatakan penting bagi mereka untuk melihat seorang perempuan terpilih sebagai presiden selama masa hidup mereka. Hanya 18% yang menganggap hal tersebut sangat penting, sementara mayoritas 64% tidak terlalu penting atau sama sekali tidak penting. Adapun sisanya tidak memiliki pandangan yang jelas terkait hal tersebut.
Hasil survei menunjukkan keraguan signifikan bahwa seorang presiden perempuan mungkin akan muncul dalam beberapa dekade mendatang, terutama setelah kegagalan Hillary Clinton pada pemilu 2016. Hanya satu dari empat orang dewasa AS yang percaya bahwa sangat mungkin AS akan memilih seorang presiden perempuan selama masa hidup mereka.
Sementara perempuan merupakan mayoritas pemilih di AS, jumlah perempuan pada pemilu terakhir lebih banyak daripada laki-laki, sekitar 53%. Namun, hal ini tidak serta-merta meningkatkan kemungkinan seorang perempuan untuk memenangkan jabatan politik tertinggi, menurut profesor Ilmu Politik dan Gender di USC, Jane Junn. Ia menyatakan bahwa perempuan tidak selalu memilih kandidat berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar pemilih mempertimbangkan hal lain dalam menentukan pilihannya. Kemenangan Trump atas Clinton pada tahun 2016 mencerminkan rendahnya tingkat kepentingan yang diberikan oleh warga AS terhadap presiden perempuan, terutama di Partai Republik.
Menurut Junn, dominasi Trump yang terus berlanjut di Partai Republik dan kurangnya penantang perempuan menunjukkan peluang yang sangat besar bagi seorang perempuan untuk berhasil sebagai calon dari partai tersebut. Mayoritas warga AS tidak merasa bahwa keberadaan seorang presiden perempuan akan membuat perbedaan signifikan dalam kepemimpinan atau kebijakan. Namun, mereka menyadari adanya perlakuan berbeda terhadap kandidat perempuan dalam media dan persepsi masyarakat secara umum.
Pengalaman politik seorang kandidat perempuan seringkali dinilai lebih berat dibandingkan dengan pesaing prianya. Perempuan dinilai lebih keras jika terlihat belajar sambil bekerja, hal ini mencerminkan standar ganda yang masih menjadi kendala dalam politik AS. Lebih dari mayoritas warga AS setuju bahwa tidak cukup banyak wanita di jabatan politik tinggi di AS, namun, masalah yang mendasarinya sangat luas.
Belum adanya presiden perempuan di AS terasa sangat ironis mengingat banyak negara lain yang sudah memiliki presiden perempuan, seperti Indonesia dengan Megawati Sukarnoputri, Inggris dengan Margaret Thatcher, India dengan Indira Gandhi, China dengan Soong Ching-ling, Pakistan dengan Benazir Bhutto, Filipina dengan Gloria Macapagal Arroyo, dan Jerman di bawah kepemimpinan Angela Merkel.
Jumlah tersebut menggambarkan bahwa AS masih tertinggal dalam hal keterlibatan perempuan di politik dibandingkan dengan negara-negara lain. Meskipun popularitas Kamala Harris dan Gretchen Whitmer meningkat, tantangan dalam meraih sukses dalam pemilihan presiden AS masih menjadi kenyataan yang sulit untuk diatasi. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun perempuan memiliki peran yang semakin penting dalam politik, namun, perjuangan untuk mewakili negara besar seperti Amerika Serikat masih merupakan tugas yang rumit. Dengan demikian, peran perempuan di politik adalah aspek yang perlu diperhatikan lebih lanjut untuk mendorong kesetaraan gender dan pembangunan masyarakat yang lebihinklusif.