Uang Rp 47 Triliun Menguap dari Judi Online: Siapa Saja yang Terlibat dan Mengapa Anak Muda Rentan?
Tanggal: 7 Mei 2025 20:46 wib.
Tampang.com | Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kembali merilis data mencengangkan mengenai aktivitas judi online di Indonesia. Dalam tiga bulan pertama tahun 2025, perputaran uang dari judi online tercatat mencapai Rp 47 triliun, menunjukkan penurunan drastis dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.
Menurut Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, angka tersebut merupakan kemajuan besar dalam upaya memberantas praktik ilegal ini. Pada kuartal pertama 2024, nilai transaksi dari aktivitas judi online bahkan menyentuh angka fantastis Rp 90 triliun. "Sekarang berhasil kita tekan sampai kurang dari Rp 50 triliun. Itu sesuatu yang luar biasa," ujar Ivan dalam pernyataan resmi pada Rabu (7/5/2025).
Dari sisi jumlah transaksi, selama Januari hingga Maret 2025, tercatat ada sekitar 39,8 juta transaksi judi online. Jika tren ini terus bertahan hingga akhir tahun, PPATK memperkirakan jumlah transaksi tahunan akan berada di kisaran 160 juta, jauh lebih sedikit dibandingkan 209 juta transaksi pada tahun 2024.
Lebih lanjut, PPATK mencatat deposit yang disetor masyarakat ke platform judi online mencapai Rp 6,2 triliun selama kuartal I 2025. Ini juga menunjukkan penurunan drastis dibandingkan kuartal I tahun lalu yang mencapai Rp 15 triliun. Artinya, dalam waktu setahun, penurunan terjadi lebih dari 50%.
"Bayangkan, masyarakat kita mendepositkan uang Rp 15 triliun hanya untuk berjudi dalam 3 bulan pertama tahun lalu. Sekarang, angka itu berhasil kita tekan hingga tinggal Rp 6,2 triliun. Ini adalah pencapaian nyata yang harus diapresiasi," tegas Ivan.
Namun, meski ada penurunan dari sisi nilai dan jumlah transaksi, profil para pelaku judi online masih menjadi perhatian serius. PPATK menemukan bahwa sebagian besar pemain berasal dari golongan berpenghasilan rendah, dengan 71% di antaranya memiliki pendapatan bulanan di bawah Rp 5 juta.
"Mayoritas pelaku judol ini adalah saudara-saudara kita yang sebenarnya penghasilannya masih minim, dan uang itu seharusnya digunakan untuk kebutuhan pokok mereka. Tapi justru habis di meja judi virtual," jelas Ivan.
Fakta ini mengungkap bahwa judi online tidak hanya menjadi masalah hukum, tetapi juga telah menjadi persoalan sosial dan ekonomi. Mereka yang justru paling terdampak adalah kelompok yang ekonominya lemah dan belum stabil. Alih-alih memperbaiki hidup, banyak dari mereka justru terjerat utang dan kemiskinan lebih dalam akibat perjudian.
Data PPATK juga menunjukkan segmentasi usia pemain yang dominan, yaitu kelompok usia 20–30 tahun sebanyak 396 ribu orang, disusul oleh kelompok usia 31–40 tahun sebanyak 395 ribu orang. Ini menandakan bahwa generasi muda menjadi target utama dari ekosistem judi online yang semakin canggih dan agresif dalam memasarkan produknya.
Penyebaran aktivitas ini tidak terbatas pada satu wilayah. Lima daerah di Indonesia tercatat sebagai wilayah dengan aktivitas judi online paling masif, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Banten, dan Jawa Timur. Yang menarik, posisi DKI Jakarta mengalami peningkatan drastis dalam daftar wilayah dengan transaksi tertinggi.
"Tahun lalu, DKI Jakarta hanya berada di urutan kelima. Namun, pada kuartal pertama tahun ini, DKI naik ke posisi kedua. Ini menunjukkan dinamika yang terus bergerak dan harus segera ditangani," papar Ivan.
Kondisi ini menggambarkan tantangan besar yang dihadapi pemerintah dan aparat penegak hukum dalam menanggulangi penyebaran judi online. Meskipun ada penurunan transaksi dan jumlah dana yang berputar, fakta bahwa puluhan juta transaksi masih terjadi hanya dalam tiga bulan pertama menunjukkan bahwa masalah ini belum benar-benar tuntas.
Lebih jauh lagi, akses digital yang luas, ditambah dengan kurangnya literasi finansial dan minimnya penegakan hukum yang tegas, menjadi penyebab utama terus berputarnya uang di dunia judi daring. Banyak pemain tergoda dengan iming-iming keuntungan cepat, padahal kenyataannya justru lebih sering merugi.
Perkembangan teknologi membuat judi online semakin sulit dilacak dan diberantas, karena para pelaku kini menggunakan sistem keuangan digital, rekening pinjaman, hingga uang elektronik untuk menyamarkan aliran dana. Tak jarang, praktik ini juga dikaitkan dengan pencucian uang dan kegiatan kriminal lainnya.
PPATK mengingatkan bahwa penanganan judi online harus melibatkan kerja sama lintas sektor—dari lembaga keuangan, regulator teknologi informasi, penegak hukum, hingga elemen masyarakat. Tak cukup hanya memblokir situs-situs judi, tetapi juga perlu pendekatan edukatif, regulatif, serta rehabilitatif terhadap para korbannya.
Kesimpulan
Angka-angka terbaru dari PPATK menunjukkan bahwa upaya memberantas judi online di Indonesia mulai menunjukkan hasil positif. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, terutama menyangkut edukasi masyarakat, perlindungan kelompok rentan, dan penegakan hukum secara menyeluruh. Judi online bukan sekadar permainan, tetapi telah menjadi ancaman nyata terhadap ketahanan sosial dan ekonomi nasional.